Review Love and Monsters (2021): Lucu, Menegangkan, Sekaligus Melegakan

Netflix kembali merilis film yang bikin penasaran. Dari penampakan posternya saja, gue sudah ngiler, ngebet pengin cepet-cepet nonton. Tetapi sayangnya jadwal nonton gue yang padat, membuat gue harus sedikit bersabar.


Tampaknya Dylan O'Brien akan semakin melekat dengan film lari-lari. Sukses dengan film seri Maze Runner, kali ini Dylan kembali bermain di film bertema apocalypse namun dengan nuansa lebih akrab karena dikemas dengan genre komedi romantis. Love and Monsters adalah film yang ringan dan cocok untuk ditonton bareng keluarga, juga ramah untuk audiens yang tidak terlalu suka film berisi monster. Sebab monster-monster yang ditampilkan (menurut gue) tidak begitu menyeramkan.

Sinopsis: Tujuh tahun setelah Monsterpocalypse, Joel Dawson, bersama dengan umat manusia lainnya, telah hidup di bawah tanah sejak makhluk raksasa menguasai daratan. Setelah terhubung kembali melalui radio dengan pacar SMA-nya, Aimee, yang sekarang berada 80 mil jauhnya di koloni pantai, Joel mulai jatuh cinta lagi padanya. Saat Joel menyadari bahwa tidak ada yang tersisa untuknya di bawah tanah, dia memutuskan untuk pergi menemui Aimee, terlepas dari semua monster berbahaya yang menghalangi jalannya.

Ekspektasi gue terhadap film ini benar-benar terpenuhi, dan film ini memang layak mendapatkan pujian dan perhatian lebih banyak. Jarang-jarang ada film yang menyatukan aksi laga, monster, dan romcom sebagus ini. Alurnya mengalir nyaris tanpa hambatan, narasi yang dibawa pun tersampaikan dengan baik kepada audiens. Terlebih perjalanan dan perkembangan karakter Joel Dawson yang nyaman untuk diikuti. Barisan plot itu didukung dengan dialog-dialog komikal yang lucu, namun tidak berlebihan dan tidak merusak elemen aksi dan ketegangan film ini. Ibarat memasak, Michael Matthews berhasil memadukan bahan-bahan dan rempah ke dalam wajan dengan proporsi yang pas. Tidak terlalu manis, tidak terlalu asin, dan tidak terlalu pedas. Pas.

Dari departemen visual dan penyuntingan, mari kita sedikit lebih memfokuskan perhatian kepada look para monster di film ini. Sebab efek visual selain itu menurut gue tidak perlu dibahas, karena desain produksi film ini memang luar biasa. Efek visual monster di sini sangat mulus dan kelihatan mahal. Hal itu juga didukung dengan penyuntingan yang presisi. Perpaduan visual, transisi, dan skor musik film ini mampu menciptakan sekuens-sekuens yang powerful, juga meaningful.

Gue juga sangat mengapresiasi naskah karya Brian Duffield dan Matthew Robinson yang jauh dari kesan mengecewakan. Secara naratif film ini sangat matang dan impresif. Terutama pada fragmen karakterisasi Joel yang pecundang, penakut, dan lemah, perlahan menunjukkan perubahan dan menemukan kembali dirinya yang sesungguhnya. Pada bagian itu, naskah ini terbukti well-written. Sejujurnya, alur Love and Monsters sangat generic dan bisa kita temukan di banyak film bergenre sama. Namun lagi-lagi gue menekankan, secara naratif, film ini sangat layak diberi pujian.

Di bagian adegan-adegan romantis, film ini juga tidak terjungkal ke jurang yang sering menjebak film romcom sok romantis di luar sana. Bagian romantis film ini sama sekali tidak cringe dan tidak terlalu cheesy. Dan meski porsinya tidak lebih banyak dari sekuens kejar-kejaran dengan monster, setiap kali film ini menyorot adegan romantis Joel dan Aimee, tetap memberi kesan yang cukup. Elemen dramatisnya juga dikonstruksi dengan sangat baik. Bahkan di bagian ending, gue mendapatkan lebih dari yang gue harapkan. Perubahan karakter Joel di akhir benar-benar inspiring.

Spoiler

Mari kita bahas sedikit soal isi film dan adegan-adegan favorit.

Joel sejak awal memberi gue kesan yang sangat biasa. Banyak sekali film yang menampilkan sosok loser sebagai tokoh utama. Namun Joel menunjukkan perbedaan. Meski tampak seperti pecundang yang kesepian dan punya rasa takut besar dalam dirinya, Joel ini cukup percaya diri untuk ukuran loser. Dia selalu ingin berkontribusi dalam mempertahankan bungker koloninya. Dia selalu ingin membuktikan bahwa dia bisa. Selain itu, karakter Joel memiliki sense of humor yang cocok dengan gue. Sehingga setiap kali dia membuka mulut dan mengeluarkan lelucon-lelucon khasnya, gue tak segan untuk tertawa.

Semua adegan yang menunjukkan perkembangan karakter Joel adalah favorit gue. Terutama ketika Joel memutuskan untuk menyelamatkan Boy, anjingnya, setelah mengingat kematian orangtuanya akibat dirinya yang lemah dan pecundang. Titik baliknya ada di situ. Joel merasa harus move on dan melanjutkan hidup sebagai orang yang lebih berani dan bertanggungjawab.

Aimee, gue rasa lo harus berpikir ulang, Joel menyelamatkan hidup lo! Di sekuel nanti (kalau bakal ada), sebaiknya Aimee kembali mempertimbangkan hubungannya dengan Joel. Meski itu bukan hal yang mudah. Tujuh tahun lamanya berpisah, jarang komunikasi, dan terpisah oleh jarak, pasti mengikis perasaannya sampai habis. Untuk membangunnya kembali, mungkin juga butuh waktu selama tujuh tahun pula.

Tapi jujur, meski tidak berakhir sesuai harapan Joel, kisah romantis keduanya cukup menginspirasi. Joel juga bukan orang keras kepala yang memaksakan kehendak dan perasaan Aimee untuk tetap mencintainya. Ketika Aimee mengatakan perasaannya dengan jujur, Joel tidak bertanya kenapa, dia langsung menerimanya meski sakit. Ya iya lah, bayangin aja dia udah ngelewatin ratusan kilometer dengan kejaran monster dan hal-hal bahaya lainnya hanya untuk menemui Aimee. Poor Joel :)

Menuju konklusi, adegan pelukan dan ciuman antara Joel dan Aimee tampak lebih bijak. Tidak romantis, tapi bijak. Pelukan dan ciuman itu memberi ruang lega dalam diri Joel. Dan memberinya penyadaran, bahwa yang terpenting bukanlah dia mendapatkan Aimee kembali, dan membawanya ikut hidup bersamanya, melainkan kekuatan baru dalam dirinya akhirnya terungkap berkat perjalanan menuju Aimee. Pergolakan antara wants dan needs berakhir dengan konklusi yang adil dan bijak.

Skor: 8/10



 Klik di sini untuk menonton melalui Netflix.

Post a Comment

0 Comments