Voice of Silence (2020): Keheningan yang Nyaring



Voice of Silence merupakan film drama kriminal garapan sutradara Hong Eui-jeong. Hong berhasil membuktikan bahwa debut penyutradaraan layar lebarnya tidak bisa dianggap remeh. Voice of Silence jelas bukan film ecek-ecek. Sutradara Hong selama ini terlibat dalam beberapa proyek film pendek di Inggris baik sebagai sutradara maupun kru. Untuk garapan film berbahasa Korea, Voice of Silence ini adalah film keduanya—setelah film pendek berjudul The Habitat (2018).

Voice of Silence sendiri menceritakan dua orang yang bekerja untuk organisasi kriminal, Tae-in (Yoo Ah-in) dan Chang-bok (Yoo Jae-myung). Tae-in adalah pemuda bisu yang diurus oleh Chang-bok sejak kecilnya. Pekerjaan mereka adalah membereskan kekacauan-kekacauan seperti membuang mayat, membersihkan tempat bekas pembunuhan, dan lain sebagainya.

Suatu hari manajer mereka meminta mereka untuk mengawasi seorang anak berusia 11 tahun—Cho-hee—yang dia culik. Sampai tebusan dari orangtuanya diterima, anak itu harus dimonitor setiap waktu. Namun masalah semakin rumit ketika sang manajer mati dibunuh. Baik Tae-in maupun Chang-bok tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Voice of Silence sejak awal sudah mencuri perhatian gue. Mulai dari opening scene, sinematografi, sampai pengenalan karakter. Dua karakter utama, Tae-in dan Chang-bok adalah karakter yang unik dan kuat. Terlebih Tae-in, meski bisu, sorot mata, ekspresi wajah, hingga bahasa tubuhnya sangat nyaring.

Voice of Silence mencoba menghadirkan cerita yang dalam mengenai orang-orang yang terabaikan seperti Tae-in dan Chang-bok. Mereka hidup seperti bayangan. Terlihat tapi tidak pernah digubris. Masyarakat hanya akan meggubris mereka kalau kehadiran mereka dianggap mengganggu. Dan itu sangat relevan dengan keadaan masyarakat kita—mungkin juga relevan dengan masyarakat di mana pun berada.

Mereka, Tae-in dan Chang-bok hidup tanpa ambisi, yang penting bisa melanjutkan hidup meski dunia sekitar memuakkan. Film ini berhasil menampilkan perubahan dalam hidup mereka setelah Cho-hee hadir. Tae-in dan Chang-bok sedikit kesulitan menangani seorang anak umur 11 tahun karena biasanya mereka mengurus mayat para bajingan. Namun Cho-hee justru memberi kehidupan baru bagi mereka—terutama bagi Tae-in si bisu—yang tadinya kosong menjadi sedikit berwarna.

Voice of Silence mengajak kita bertualang ke kehidupan Tae-in yang berantakan. Penggambaran secara visual pun sangat apik. Bagaimana Hong menampilkan hidup Tae-in yang tak terarah—dengan gubuk dari bekas rumah kaca sebagai kediaman Tae-in dan adiknya Moon-joo, kondisi rumah yang penuh dengan sampah dan pakaian kotor, serta penampilan Moon-joo yang kumuh—sangat baik.

Pembangunan elemen dramatisnya pun mulus sejak awal. Misalnya membangun sifat mentor Chang-bok yang berulang kali menasehati Tae-in, bahkan memberinya rekaman doa untuk didengarkan Tae-in sebelum tidur, setelah melakukan pekerjaan kotornya. Lalu  eskalasi konflik antara Tae-in dan Cho-hee yang cukup efektif.

Lebih dari itu, Voice of Silence pada dasarnya ingin menyajikan realitas sosial yang tengah kita jalani. Karakter Tae-in sendiri merepresentasikan orang kelas bawah yang tidak pernah dipandang. Terlebih kondisinya yang "berbeda" dari orang lain. Hal itu membuat dirinya semakin tersisih dari masyarakat. Bahkan rumahnya terletak di tempat yang asing, sepi, dan tak terjangkau. Seolah dirinya memang ingin mengasingkan diri. Kondisi mental dan fisik yang ia alami membuatnya merasa lebih rendah daripada orang lain, namun terkadang ada saatnya dia ingin melawan perasaan itu. Momen ketika dia membalas sikap arogan manajernya dengan menampar saat memiliki kesempatan, itu juga cukup powerful.

Tae-in pada dasarnya sama seperti orang lain, ingin hidup nyaman, ingin berpenampilan baik, dan ingin-ingin lainnya. Tampak ketika Tae-in bercermin sambil mencocokkan setelan bekas, dan bahkan mengambil setelan milik manajernya yang mati.

Di sisi lain, film ini juga memotret kejahatan underground—yang tidak hanya terjadi di kota besar seperti Seoul—seperti penculikan anak, penjualan anak, pembunuhan, dan lain-lain. Di film ini yang ditonjolkan adalah penculikan. Digambarkan dengan penculikan Cho-hee. Gadis kecil itu terpaksa tinggal serumah dengan Tae-in dan adiknya di gubuk kumuh. Tak lain dan tak bukan agar dia mudah diawasi oleh Tae-in dan Chang-bok.

Dalam proses penyanderaan itu, kita disuguhi sempalan-sempalan kritik sosial yang mengalir dalam dialog dan adegan. Di awal pemboyongan Cho-hee, Chang-bok menggerutu soal orangtua yang membedakan anak perempuan dan laki-laki—yang mestinya setara. Konteksnya adalah target penculikan sesungguhnya adalah adik laki-laki Cho-hee, agar tebusannya lebih mahal. Miris. Hal itu benar-benar menggambarkan realitas di Korea Selatan di mana mental patriarki masih tertanam di masyarakat—bahkan orang berpendidikan sekali pun.

Kemudian tentang pendidikan, kita bisa melihat dengan jelas bahwa baik Tae-in maupun adiknya, Moon-joo, tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang baik. Pendidikan formal memang bukan satu-satunya jalan belajar, tapi kenyataan bahwa banyak orang miskin tidak bersekolah itu barangkali karena kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat sekitar. Adegan-adegan Cho-hee mengajarkan Moon-joo menggambar dan menulis memang sangat menggugah.

Masih tentang pendidikan. Manusia belajar hidup dari lingkungan dia tinggal. Tae-in sejak kecil diurus oleh Chang-bok, begitulah jadinya. Dan Cho-hee hidup di keluarga kaya dan mendapatkan pendidikan bagus, maka perbedaannya jelas terlihat. Saat penyanderaan berlangsung, Tae-in dan Cho-hee secara alami bertukar ilmu lewat kebiasaan-kebiasaan mereka. Cho-hee memperlihatkan cara merapikan rumah, mengajari Moon-joo menggambar, mencuci pakaian, dan sopan santun. Sementara Tae-in dan Chang-bok memperlihatkan kehidupannya yang gelap; membungkus mayat; mengubur mayat. Bahkan terdapat adegan di mana Cho-hee ikut membantu mereka mengubur. Manusia tumbuh sebagaimana masyarakatnya.

Selain hal-hal yang gue tuturkan di atas, gue juga menyoroti perkembangan karakter Tae-in yang menyentuh. Tae-in perlahan merasakan emosi yang dirasakan Cho-hee. Dan secara tidak langsung kita diberitahu kalau Tae-in pada akhirnya merasa simpati kepada Cho-hee. Tanpa sepatah kata pun dia ucapkan, kita tahu tindakan-tindakannya itu menunjukkan perubahan. Itu mungkin yang disebut Voice of Silence. Terkadang tindakan terdengar lebih nyaring daripada kata-kata.

Dua poin terakhir gue dalam ulasan ini: akting dan sinematografi.

Akting

Yoo Ah-in adalah spotlight dalam film ini. Seperti biasa, Ah-in tidak pernah mengecewakan. Kemarin Ah-in berhasil menyabet penghargaan Best Actor in Movie dalam perhelatan Baeksang Awards ke-57, dan dia sangat layak mendapatkannya. Karakter Tae-in yang bisu dan polos berhasil diperankan oleh Ah-in tanpa sedikit pun kecacatan. Aktor berbakat satu ini juga sangat berdedikasi. Dia menaikkan berat badan dan membotaki kepalanya untuk peran ini. Performanya dalam memerankan Tae-in membuktikan bahwa spektrum akting Ah-in benar-benar luas. Memerankan orang bisu bukanlah hal mudah. Perlu pendalaman karakter yang baik. Perlu kecerdasan untuk memahami emosi orang bisu. Ah-in berhasil berbicara sebagai Tae-in melalui bahasa tubuh dan mimik wajah yang JUARA.

Di sisi lain, Yoo Jae-myung sebagai Chang-bok yang tak kalah hebat dalam membawakan perannya. Jae-myung mampu menginternalisasikan karakter Chang-bok—orang tua yang banyak bicara, berkaki pincang, namun perhatian—dengan sangat efektif.

Sinematografi

Karya-karya Hong memang perlu diantisipasi, setidaknya kualitas sinematografinya yang kelas kakap. Gue nonton film pendeknya dan memang secara visual Hong sangat mumpuni. Voice of Silence menawarkan visual yang manis dan memanjakan mata sekaligus memilukan. Hamparan ilalang, keramaian pasar, potret rumah Tae-in, dan sebagainya benar-benar digambarkan dengan apik dalam teknik visual yang keren. Film ini memberikan keindahan teatrikal yang memuaskan.

Secara keseluruhan, gue suka banget. Selain karena sinematografinya—yang jadi alasan pertama gue nonton film ini—juga karena kedalaman cerita dan kepekaan Hong menangkap fenomena sosial.

Skor: 8


Post a Comment

0 Comments