A WORLD WITHOUT (2021), DISTOPIA FUTURISTIK YANG DIBUAT SEKENANYA

 


Directed by Nia Dinata

Starring Amanda Rawles, Maizura, Asmara Abigail, Chicco Jerikho, Ayushita.


Sempat menjadi topik yang hangat di media sosial karena materi promosinya yang unik, "A World Without (2021)" mempersembahkan sajian distopia futuristik dengan narasi women empowerment. Nia Dinata kembali dengan warna baru. A World Without (2021) juga telah memperkaya genre dalam katalog perfilman lokal. 

Harus diakui, ide A World Without (2021) menarik, bahkan ini adalah hal yang gue tunggu-tunggu ada di perfilman Indonesia: kebaruan. Namun, jujur, naskah yang ditulis Lucky Kuswandi dan sang sutradara, Nia Dinata sangat mengecewakan. Sangat disayangkan naskah film ini tidak cukup mampu mengemban amanah dari ide semenarik ini. A World Without (2021) menyajikan cerita yang inkonsisten, tidak solid, dan sekenanya, dengan kata lain: ngawur.

A World Without (2021) berlatar di masa depan, tepatnya tahun 2030 pasca-pandemi virus. Sebuah komunitas bernama The Light yang didirikan sepasang suami-istri, Ali Khan (Chicco Jerikho) dan Sofia Khan (Ayushita) hadir menjadi harapan para remaja yang ingin menjalani kehidupan "ideal". Bisa dibilang, The Light merupakan transformasi dari organisasi kepemudaan sekaligus biro jodoh. Para remaja yang tergabung di The Light akan dilatih untuk mempersiapkan masa depan mereka. Kelompok remaja ini akan diklasifikasi berdasarkan minat mereka, ada yang ditempatkan di bisnis kecantikan, wirausaha kreatif, kreator digital, dan lain sebagainya. Pada usia ke-17, The Light akan menjodohkan anggota mereka menggunakan sistem algoritma yang diatur oleh semacam matchmaking engine.

Angkatan baru tiba. Tiga gadis yang bersahabat sejak kecil, Salina (Amanda Rawles), Ulfah (Maizura), dan Tara (Asmara Abigail) bergabung. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Salina merupakan gadis yang dibesarkan keluarga berkecukupan, tetapi tak punya ayah. Sedangkan Ulfah adalah gadis yang memimpikan kehidupan ideal. Tara paling mencolok karena dia memiliki masa lalu yang kelam. The Light menjanjikan mereka jalan menuju kehidupan yang lebih baik.

Sejak narasi anti-pacaran diperdengarkan oleh "Yang Istimewa" Ali Khan dan Sofia Khan, gue langsung tertuju para realitas masa sekarang di mana kampanye anti-pacaran berdengung di mana-mana. Sudah jelas bahwa pembuat film ingin menyentil kelompok masyarakat tertentu, khususnya "kaum kanan" di film ini (hijrah yang keliru, anti-pacaran, nikah muda, dan normalisasi poligami). Gue pribadi berpihak pada tujuan si pembuat film. Namun, A World Without (2021) seperti bejana kecil yang ingin menampung sekolam. Kritik sosial seperti dituangkan begitu saja tanpa mempertimbangkan kapasitas film ini, sehingga banyak kritik yang tumpah ke mana-mana.

Nia Dinata tampaknya juga ingin menggugat narasi "hijrah" yang keliru, yang beredar di tengah masyarakat kita. Melalui ideologi The Light yang konservatif, kita bisa dengan jelas melihat bahwa hal itu mewakili kelompok agamis yang kebablasan. Kelompok yang mudah mengecap ini baik dan itu buruk, serta menjanjikan "surga" versi mereka dan hanya mereka yang bisa mewujudkannya. Wacana "hijrah" yang keliru tadi direpresentasikan oleh kehadiran karakter Tara. Akan tetapi, hal tersebut ditampilkan terlalu singkat dan sekenanya. Kritiknya mungkin sampai, tetapi eksekusinya membuat si pembuat film tampak serakah dan gegabah dalam memasukkan kritik sosial.

Hal membingungkan lainnya adalah karakterisasi protagonis, Salina. Sejak awal Salina digambarkan sebagai gadis yang merindukan sosok ayah. Salina bahkan menyetujui pendapat Ulfah tentang Ali Khan memiliki kesan kebapakan. Salina sangat mengagumi Ali Khan, tetapi baru tiba di babak kedua film, loyalitasnya goyah hanya karena Hafiz (Jerome Kurnia) membantunya menyelesaikan masalah pekerjaan. Itu pun hanya sekali. Namun, Salina langsung jatuh hati dan bahkan berani melanggar aturan sakral The Light: tidak boleh berdekatan dengan lawan jenis selain urusan pekerjaan. Tidak masuk akal. Masih ada beberapa kejanggalan dari penulisan karakter Salina yang akan terlalu panjang jika gue tulis di sini.

Mari berbicara soal elemen distopia futuristik yang gue yakin telah menjadi perbincangan di kalangan penonton dan kritikus film. Sayangnya, elemen tersebut tidak dieksekusi dengan baik. Bahkan pada beberapa bagian terasa sangat norak dan menggelikan. Misalnya gaya bicara yang mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris yang berlebihan (Ya, fenomena itu terjadi dewasa ini, namun melihat cara film ini menyajikan gaya tutur demikian sangat tidak meyakinkan) dan perkakas elektronik macam hologram, smartwatch, dan teknologi lain yang menggambarkan aspek futuristik terlihat tidak meyakinkan. Wajar jika banyak penonton yang bereaksi dengan istilah seperti "norak", "cringey", dan sejenisnya.

Soal dunia distopia, A World Without (2021) terlihat compang-camping alias setengah-setengah. Membuat dunia distopia seharusnya tetap berpijak pada realitas, apalagi jika film ini ingin mengkritik fenomena-fenomena sosial. Banyak hal di film ini yang ujug-ujug alias kita tidak tahu hal apa di realitas masa sekarang yang mendasari perubahan tersebut. Selain itu, World-building memang menjadi salah satu masalah utama film ini.

Meskipun demikian, A World Without (2021) menampilkan tata artistik yang cukup meyakinkan seperti busana mewah Ali dan Sofia, tata rias, dan lokasi. Hal tersebut menjadi nilai positif untuk film ini walau tidak dapat menyelamatkan naskah dan eksekusinya yang jatuh ke jurang.

A World Without (2021) pada akhirnya tidak memiliki tujuan dan maksud yang jelas. Sampai akhir film, tidak simpulan yang cukup kuat untuk menegaskan apa mau si pembuat film. Film ini berakhir begitu saja. Antiklimaks. Lemah. 


🌕🌕🌑🌑🌑

 


 

Post a Comment

0 Comments