YUNI (2021): THE MOST IMPORTANT AND POWERFUL COMING-OF-AGE THIS YEAR

Directed by Kamila Andini

Starring Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Neneng Wulandari, Dimas Aditya, Marissa Anita, Nazla Thoyib, Ayu Laksmi, Asmara Abigail


Kamila Andini melanjutkan catatan impresifnya dalam perfilman tanah air. Kali ini kembali dengan sosio-drama yang provokatif tentang gadis bernama Yuni (Arawinda Kirana) yang ingin keluar dari sangkar tradisi yang mengekang dan menjadi perempuan yang merdeka. Yuni (2021), seperti yang kita tahu, dirilis dalam dua versi: festival dan teatrikal. Menonton versi mana pun, saya yakin kesannya akan sama. Kendati, bagi saya versi teatrikal terasa lebih hangat.

Yuni (2021) menceritakan gadis cerdas bernama Yuni yang terobsesi dengan segala hal yang berwarna ungu (warna yang melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan spiritualitas). Suatu hari, sekolah Yuni, melalui program pemerintah daerah, akan memberlakukan tes keperawanan pada semua siswi. Sekolah Yuni juga telah melarang musik karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Yuni harus menghadapi kenyataan itu dengan pasrah, karena selama ini, tempatnya tinggal memang selalu begitu. Namun, di usianya yang semakin dewasa, Yuni menyadari bahwa dirinya harus berani mengambil keputusan atas hidupnya.

Semua masalah berawal dari datangnya seorang lelaki yang melamar Yuni. Sementara, sekolah Yuni hanya akan mendaftarkan siswi yang memiliki nilai baik dan belum menikah untuk beasiswa perguruan tinggi.

Yuni tinggal bersama neneknya (Nazla Thoyib) yang ramah namun memegang teguh tradisi. Menurut neneknya, perempuan tidak boleh menolak lamaran lebih dari satu kali. Dan Yuni melakukannya—menolak dua lamaran. Lelaki pertama yang melamar Yuni adalah seorang mandor yang bekerja di pabrik dan lamaran kedua datang dari seorang lelaki tua yang sudah beristri. Yuni, di usianya yang masih sangat muda, harus menghadapi hal semacam itu. Pedih dan perih. Namun tidak dapat dimungkiri hal semacam ini terjadi di banyak tempat di Indonesia: child marriage dan poligami.

***


Bisa dibilang, Yuni (2021) adalah surat cinta untuk perempuan, khususnya perempuan Indonesia. Di tengah perbincangan soal "perempuan dalam masyarakat" yang sedang panas-panasnya, Yuni (2021) hadir untuk menguatkan posisi perempuan. Yuni (2021) seolah ingin mengambil kembali hak-hak perempuan atas diri mereka, yang selama ini direnggut.

Ada sebuah dialog yang terasa sangat relevan dalam Yuni (2021) versi teatrikal: Jangan biarkan orang melarang kamu bersuara, mereka tidak tahu rasanya benar-benar kehilangan suara. Sebuah kalimat yang di satu sisi sangat kuat, tetapi di sisi lainnya membongkar wajah masyarakat kita yang patriarkal, yang mana perempuan harus diam, perempuan tidak boleh bermimpi, perempuan harus seperti yang masyarakat anggap benar, dan tuntutan-tuntutan lainnya. Yuni (2021) menegaskan bahwa kita, masyarakat, bermasalah.

Konstruksi yang sederhana namun sangat progresif dan persuasif dari naskah Kamila Andini dan Prima Rusdi dan cara film ini dituturkan menjadi kekuatan utama Yuni (2021). Film ini juga berhasil mengemas isu-isu sensitif seperti seks dan pernikahan dini. Yuni (2021) juga tanpa ragu menguliti fakta-fakta menyedihkan tentang sulitnya menjadi perempuan muslimah di Indonesia.

Yuni (2021) terasa sangat jujur... dan puitis. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono turut membawa emosi yang luar biasa di film ini. Puisi "Hujan Bulan Juni" juga terdengar lebih menyesakkan di film ini, setelah kita tahu apa yang Yuni hadapi. Dipaksa dewasa, dipaksa mengerti, dipaksa menerima.

Bahasa Jawa Serang dan Sunda membuat Yuni (2021) lebih dekat dengan masyarakat rural kita yang masih menjalankan praktik seperti pernikahan dini. Entah ada alasan khusus atau tidak soal pemilihan latar tempat, yang pasti penggunaan dialog bahasa daerah mengukuhkan kritik terhadap tradisi yang bagai sangkar yang mengurung perempuan di dalamnya.

***


Bagian ending versi festival dan teatrikal mungkin akan menjadi perbincangan yang menarik, bahkan perdebatan. Yuni (2021) versi festival menimbulkan beberapa penafsiran, dan itu wajar. Selain itu, versi festival terasa lebih menyesakkan, lebih gelap. Di sisi lain, versi teatrikal memiliki akhir yang cukup hangat dan kuat. Mana yang lebih baik itu tidak penting. Bagi saya keduanya memiliki maksud yang berbeda, tetapi tetap berdasarkan nilai-nilai yang sama. Ini hanya soal potret yang ingin Kamila Andini tampilkan di dua bingkai berbeda.

Versi teatrikal memiliki durasi yang lebih panjang. Terdapat beberapa momen yang tidak ditampilkan versi festival. Seperti pendalaman karakter Suci Cute (Asmara Abigail) yang menjadi satu-satunya figur panutan yang aman dan nyaman bagi Yuni. Dan munculnya sosok ayah yang menjadi sandaran bagi Yuni. Hal ini membuat versi teatrikal tidak sekelam versi festival.

Performa Arawinda Kirana sebagai Yuni perlu mendapat apresiasi. Arawinda menunjukkan penampilan yang berdedikasi dan totalitas. Selain Arawinda Kirana, aktor-aktor lainnya pun menampilkan performa yang luar biasa, terutama Kevin Ardilova (yang juga menampilkan akting apik di Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) yang sayangnya diabaikan begitu saja oleh FFI.

***

Percayalah, Yuni (2021) adalah salah satu film terbaik tahun ini, bukan hanya di Indonesia. Yuni (2021) akan mampu bersaing secara global. Kualitas produksi dan narasi jadi bekal utama.

Yuni (2021) jelas merupakan pencapaian monumental sinema Indonesia. Belum pernah ada, seingat saya, film tentang perempuan di Indonesia yang seberani, sekuat, dan seprovokatif Yuni (2021). Hal pertama yang saya lakukan saat credit title menutup film ini adalah menyeka air mata, mengatur napas yang memburu, dan berteriak "wow" di bioskop. Sebuah reaksi wajar untuk film Yuni (2021). 

💜💜💜💜💜




Post a Comment

0 Comments