Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021): Impotensi dan Kritik terhadap Toxic Masculinity

Directed by Edwin

Starring Marthino Lio, Ladya Cheryl, Reza Rahadian, Sal Priadi, Ayu Laksmi, Piet Pagau, Kevin Ardilova, Kiki Narendra, Christine Hakim, Cecep Arif Rahman, Lukman Sardi, Ratu Felisha, Djenar Maesa Ayu, Eduart Manalu

 



Setuju atau tidak, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) adalah film Edwin paling menyenangkan untuk ditonton—mau menyebutnya sebagai film Edwin paling gila pun tak apa. Edwin menunjukkan kedewasaan berkarya dalam film ini. Secara teknis ini mungkin kalkulasi dari semua pengalaman Edwin. Secara naratif, Edwin juga berhasil membingkai alihwahana novel Eka Kurniawan ini ke dalam bingkai yang asyik dan tetap setia pada sumber aslinya.

Seperti Dendam (biar tidak kepanjangan) menceritakan Ajo Kawir (Marthino Lio) dari Bojongsoang, pemuda yang tidak bisa ngaceng tapi doyan berkelahi. Di tempatnya tinggal, semua orang tahu bahwa dia mengidap impotensi. Karena itu, sadar atau tidak sadar, Ajo berusaha untuk tetap menjadi jantan seperti yang masyarakat inginkan dari seorang laki-laki. Maka dari itu dia berkelahi. Berkelahi membuatnya jadi laki-laki.

Ajo Kawir adalah seorang preman sewaan yang bekerja dengan bayaran murah untuk menghajar orang-orang tertentu, atau mungkin juga membunuh. Suatu hari Ajo Kawir diminta menghajar Pak Lebe dan mengiris kupingnya. Namun, sebelum itu terjadi, dia harus melawan pengawalnya, Iteung (Ladya Cheryl). Di situlah Ajo Kawir jatuh cinta pada pukulan pertama. Adegan gelut mereka mirip film silat dengan budget murah tahun 1980-an, mungkin sengaja dibuat seperti itu, tapi justru di situ letak keindahannya. Gerakan mereka menjadi seperti tarian dua orang yang sedang jatuh cinta ketimbang berkelahi karena kebencian.
***


Seperti Dendam memadukan komedi, romansa, dan aksi laga. Seringnya, ketiganya muncul bersamaan sehingga membuat adegan-adegan tertentu rasanya sangat penuh dan menghibur. Sama sekali tidak tampak jomplang. Lengkap dengan iringan musik dan lanskap visual yang ditunjukkan, film ini nyaris sempurna secara teknis.

Saya tidak pernah hidup di tahun 80-an, tetapi Seperti Dendam membukakan portal ke tahun itu untuk penontonnya, setidaknya itu yang saya rasakan ketika menonton. Mulai dari properti hingga beberapa referensi yang mengarah ke kepemimpinan presiden kala itu, Petrus (penembak misterius), yang beberapa kali disebut. Penggunaan dialog Bahasa Indonesia gaya novel pun menjadi elemen yang penting di film ini. Biasanya, dialog seperti ini dalam film akan terdengar canggung, tetapi di sini itu tidak terjadi. Justru tetap menjaga filmnya berada di koridor yang tepat.
***


Kekerasan menjadi kekuatan film ini. Seperti film-film Quentin Tarantino—seorang kritikus film dari Screen Daily menyebut Eka Kurniawan sebagai ’Indonesian literature’s Quentin Tarantino’—Seperti Dendam juga menggunakan kekerasan untuk bersuara. Ajo Kawir yang kita tahu "burung"-nya tidak bisa ngaceng sangat ingin menjadi jantan. Sebab bagi masyarakat, jantan artinya juga bisa tampil baik dalam seks. Sementara Ajo Kawir tidak akan bisa melakukan itu sampai impotensinya sembuh. Artinya, sampai saat itu, dia tidak akan dianggap lelaki kecuali oleh Iteung (Ladya Cheryl).

Perjuangan Ajo Kawir menjadi jantan juga mengungkap watak masyarakat kita yang sejak dulu begitu—memaksa lelaki menjadi lelaki, memaksa perempuan menjadi perempuan sesuai dengan yang baik menurut mereka. Ajo adalah korban toxic masculinity yang juga bisa kita lihat dewasa ini masih banyak orang-orang yang dipaksa jadi jantan seperti Ajo. Dan hal itu tidak benar-benar diperhatikan oleh masyarakat kita. Nilai-nilai semacam itu sering disebut sebagai omong kosong soal kodrat manusia.

Seperti Dendam sangat mulus sampai Ajo Kawir membunuh Si Macan dan dipenjara. Sejak itu, entah kenapa Seperti Dendam seperti kebingungan mencari jalan keluar. Namun hal itu tidak terlalu tampak sejujurnya. Kilas balik yang menyingkap alasan kenapa "burung" Ajo Kawir tidak bisa ngaceng dan kemunculan Jelita (Ratu Felisha) yang mistis cukup memenuhi kekosongan itu serta mengembalikan film ini pada jalurnya.

Ketika memasuki fase surealis, film ini masih memiliki beberapa hal untuk diceritakan, sementara waktu tidak tersisa banyak. Sehingga tidak ada ruang untuk Mono Ompong (Kevin Ardilova) dan Ki Jempes (Cecep Arif Rahman) untuk berkembang. Sehingga dua karakter ini hanya jadi semacam pemanis, tidak seperti versi novel. Namun masalah yang dihadapi Ajo Kawir dan Iteung dapat diselesaikan berkat Jelita.
***


Kritik terhadap toxic masculinity jelas paling nyaring di antara yang lainnya, di samping kenyataan bahwa Iteung juga mengalami sexual abuse pada usianya yang masih sangat muda juga sama pentingnya. Ajo Kawir harus menjadi brutal, kasar, dan sangar untuk menjadi lelaki, karena hanya itu yang dia punya. Terkadang, kekerasan harus dilakukan untuk menunjukkan power. Meskipun pada akhirnya masyarakat tetap mengelak karena eksistensi penis tetap penting untuk jadi lelaki. Jika dibandingkan dengan Budi Baik (Reza Rahadian), atau bahkan Tokek (Sal Priadi), Ajo tidak lebih laki. Saya bisa mengerti dan ikut merasa frustrasi melihat Ajo Kawir yang mengalami kemandekan dalam hidupnya sebagai laki-laki.

Budi Baik digambarkan sebagai laki-laki maskulin yang jika diam saja pun akan dianggap laki-laki. Berkebalikan dengan Ajo Kawir yang walaupun sudah membuktikan kejantanannya lewat banyak hal gila pun tetap tidak diakui. Saya rasa dua laki-laki yang berdiri mengapit Iteung ini semacam pertanyaan: yang manakah yang lebih laki? yang ditujukan kepada penonton. Pada akhirnya tidak ada jawaban pasti, tapi yang jelas keduanya laki-laki.

***

Perkara akting, tidak usah diragukan lagi. Saya juga tidak akan memberi komentar apapun selain "Ladya Cheryl, Wow!"

***

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) benar-benar membayar lunas alihwahana ini. Sebagai pembaca novelnya, saya cukup puas dengan bagaimana film ini dieksekusi. Tidak sempurna, tentu, tapi juga tidak meninggalkan sumber aslinya. Alihwahana adalah pekerjaan yang sulit dan film ini berhasil.

Sejujurnya masih banyak hal yang ingin saya tulis tentang film ini, tapi apa daya jari sudah keriting.

Yang jelas, Seperti Dendam adalah salah satu yang terbaik di tahun ini di perfilman tanah air. Soal keunikan dan keseruan, film ini juaranya. Bersama Yuni (2021) dan Penyalin Cahaya (2021), Seperti Dendam menjadi bukti bahwa industri perfilman kita sedang berjalan ke arah yang baik.

"Bangun, Bajingan!"

🌕🌕🌕🌕🌗





Post a Comment

1 Comments