Apostle (2018): Ketika Gareth Evans Bercerita Tentang Nabi Palsu

Setelah film martial arts, Gareth Evans akhirnya mencoba warna baru dalam membuat film. Dan warna yang dipilihnya adalah horror-period yang dipadu dengan spiritualitas, Apostle (2018).



Pada tahun 1905, Thomas Richardson melakukan perjalanan ke pulau terpencil di Welsh untuk menyelamatkan saudara perempuannya, Jennifer, yang telah diculik dan ditahan untuk mendapatkan tebusan oleh sekte misterius. Menyamar sebagai mualaf, Thomas bertemu dengan pemimpinnya, Malcolm Howe, yang mendirikan sekte dengan dua narapidana lainnya, Frank dan Quinn. Mereka mengklaim bahwa pulau tandus itu dibuat subur melalui pengorbanan darah. Thomas menemukan putra Frank, Jeremy, dan putri Quinn, Ffion, yang menyelinap pulang setelah kencan. Dia memaksa Jeremy untuk mengakui bahwa Jennifer diculik untuk tebusan, karena sekte tersebut tidak memiliki sumber daya untuk membayar pengorbanan hewan berkelanjutan yang diperlukan untuk menjaga kesuburan pulau itu.


Apostle dibuka dengan cukup intens oleh Gareth. Musik gubahan Duo Indonesia, Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi mampu memacu atmosfer. Tak lupa, Gareth menunjukkan situasi dan kondisi Inggris di tahun 1905 yang akrab dengan kesunyian. Gue suka dengan pembukaan babak pertama yang sangat menjanjikan. Kendati, penuturan Gareth sedikit lebih lambat dari biasanya, gue duga, dia ingin memberi setup yang matang, agar konfliknya lebih terasa. Namun lagi-lagi, sepertinya alur lambat Apostle tidak terlalu cocok dengan gue. Di beberapa bagian gue merasa cukup jenuh.


Sayang sekali menuju babak pertengahan dan seterusnya, tidak lagi ada yang istimewa. Semuanya berjalan biasa saja, nyaris tanpa kejutan. Bahkan gue yang awalnya menonton dengan ekspektasi cukup tinggi untuk kegilaan Gareth, dibuat memble karena sutradara The Raid ini seperti malu-malu di film ini. Meski ada beberapa adegan brutal, gue sama sekali tidak impressed.


Film yang melabeli dirinya horor ini sama sekali tidak berhasil menunjukkan kehororannya. Justru yang diperlihatkan adalah pertikaian antara Thomas dengan Nabi Palsu Malcolm dan pengikutnya. Beberapa fight scenes tampak ragu dan terlalu cemen. Berbanding terbalik dengan The Raid yang penuh kegilaan dan totalitas. Gue rasa Apostle memang gagal total dalam hal ini.


Elemen supranatural dan spiritual yang sebenarnya adalah kemudi utama film ini, justru tenggelam. Film ini jelas horor tanpa kengerian. Sejak awal elemen supranaturalnya memang membingungkan. Meski pada akhir film terjawab, tetapi eksekusinya terlalu gegabah dan tampak kurang persiapan. Belum lagi sosok Nabi yang dijadikan judul film tampak lemah dan labil. Karakterisasi Malcolm juga sangat membingungkan. Sederhananya, kali ini Gareth Evans tidak menulis filmnya dengan baik.


Aspek yang patut diapresiasi lebih adalah deretan sinematografinya, shot yang indah, blocking, detail, dan music scoring. Selebihnya film ini hanya horor bercanda yang dibuat ditulis setengah hati. Tampaknya Gareth hanya ingin mengambil gambar-gambar yang memanjakan mata dari 1905, bukan membuat film dengan cerita yang berkesan. Tidak masalah, tapi memang mengecewakan. 


Horor yang terinspirasi dari Wicker Man ini pada akhirnya gagal menggali kedalaman narasi, dan hanya mengandalkan kemasan yang gagah dan berdarah-darah. Padahal dalamnya kopong.


Skor: 6.5/10 (untuk sinematografinya) 

Post a Comment

0 Comments