INSTANT FAMILY (2018): HEARTWARMING AND HILARIOUS

Akhir-akhir ini gue memang lebih suka menonton film-film bertema keluarga, dan Instant Family adalah salah satu yang gue tonton. Sejujurnya gue tahu film ini sejak lama, namun karena beberapa alasan, gue tidak langsung menontonnya. You know, ada banyak sekali film Hollywood bertema keluarga yang sudah gue tonton. Akhir-akhir ini gue lebih sering memberi perhatian lebih kepada film-film Asia dan Eropa, yang ternyata menyimpan banyak mutiara tersembunyi.

Well, ini dia... Instant Family, film komedi keluarga berdasarkan kisah nyata.

Director: Sean Anders

Casts: Mark Wahlberg, Rose Byrne, Isabela Merced

 

Netflix


Plot

Mengisahkan Pete (Mark Wahlberg) dan Ellie (Rose Byrne) yang memutuskan untuk memulai sebuah keluarga. Namun kondisi mereka tidak memungkinkan untuk memiliki anak. Sementara pihak keluarga Ellie, terutama saudara-saudaranya yang annoying terus meremehkannya. Hingga suatu hari mereka berpikir untuk mengadopsi anak dari semacam pusat pemberdayaan anak-anak terlantar. Pete dan Ellie berkomitmen untuk mengadopsi salah satu dari anak-anak itu. Namun bukannya mendapatkan bayi menggemaskan, mereka justru mengadopsi seorang gadis rebel berusia 15 tahun, Lizzy (Isabela). Yang mereka tidak tahu, Lizzy memiliki dua orang adik. Juan yang anxious dan Lita yang heboh. Dan mereka harus mengadopsi mereka juga.

Rutinitas mereka pun berubah drastis, yang tadinya hanya berdua di rumah, kini mereka punya anggota lain. Pada awalnya, semuanya baik-baik saja. Anak-anak itu hanya sedikit rewel, namun bukan masalah besar sampai Lizzy mulai memberontak. Masalah sesungguhnya dimulai dari sini. Konflik-konflik mulai bermunculan, mulai dari sulitnya mengatur anak-anak, ribetnya memantau Lizzy yang sedang mengalami masa pubernya, dan kehebohan-kehebohan lain di dalam keluarga, yang baru bagi Pete dan Ellie. Ekspektasi mereka tentang memiliki anak pun seolah dijatuhkan dari langit ke tujuh.

__

Instant Family dituturkan dengan tempo cukup cepat oleh Sean Anders dengan letupan-letupan adegan heboh Pete dan Ellie, juga dialog-dialog yang komikal dari jajaran karakternya. Bahkan karakter-karakter minor pun ikut berkontribusi dalam menjajakan ocehan yang lucu dan menggelitik. Sampai sini, Sean Anders mampu menyuguhkan tontonan komedi yang segar dan sangat menghibur. Memasuki sekuens kedua, di mana semua kegilaan akan dimulai. 

Sean Anders mampu menampilkan potret keluarga instan Pete dan Ellie dengan efektif. Proporsi adegan komedi dan dramanya pun tidak berat sebelah. Semuanya diramu dengan pas. Meski secara struktur film ini terasa generic dan mudah ditebak, namun formula yang digunakan Sean Anders untuk menceritakan momen satu dan momen lainnya dalam Instant Family cukup efektif untuk menciptakan kebaruan dalam film komedi keluarga.

Gue rasa ini yang dinamakan berkarya dengan melibatkan hati. Instant Family sendiri yang memang berdasarkan pengalaman sang sutradara terasa tulus dengan pesan-pesan berharga, namun tidak berusaha menggurui siapa pun. Tidak seperti tipikal komedi keluarga Hollywood yang berusaha keras melucu dengan bahan-bahan narasi yang mentah dan pesan-pesan menjengkelkan. Tentu saja tidak semuanya begitu, tapi memang tidak sedikit.

Dinamika plot Instant Family cukup untuk mengaduk-aduk perasaan gue. Menampilkan pertikaian antara Ellie dan Lizzy yang tak kunjung menemui titik pemahaman. Duo chaos, Juan dan Lita yang membawa kekacauan ke dalam hidup Pete dan Ellie, Grandma Shandy dan karakter mentornya yang inspiratif, serta kehadiran ibu kandung Lizzy yang membuat masalah semakin pelik ketika Pete dan Ellie sudah mulai nyaman dengan anak-anak. Naik turunnya plot cukup untuk menghanyutkan kita dalam film, semua karakter utama mengundang simpati dan itu menandakan karakterisasi film ini tidak ditulis dengan gegabah.

Namun di bagian menuju ending yang seharusnya mencapai klimaks, justru terasa hambar dan terburu-buru. Pada bagian ini seharusnya karakter Ellie mengambil keputusan untuk berdamai dengan Lizzy dengan caranya sendiri, bukan diwakili oleh Pete yang berkali-kali melakukannya. Entah, gue merasa harusnya Sean Anders mampu memperdalam elemen dramatis di bagian ini. Tapi ya, durasi film ini sendiri sudah panjang, jadi mungkin demi efektivitas durasi. Anggap saja begitu.

Overall, gue suka filmnya.

Narasi

Secara naratif film ini sudah memuat banyak hal, bahkan hanya dari judulnya, Instant Family. Sean Anders ingin memperlihatkan kenyataan bahwa menjadi orangtua tidak mudah, apalagi jika kita menjadi orangtua asuh. Di sisi lain, film ini juga menyoroti betapa menyedihkannya menjadi anak yang terbuang: mereka sering dianggap kasar dan bodoh, juga berandalan. Padalah mereka juga manusia yang patut dihargai. Lebih dari itu, narasi tentang keluarga tersampaikan dengan baik, dengan penuturan komedi yang ringan namun menggelitik. Instant Family ingin mengajak penontonnya untuk bijak dalam membina keluarga, terutama keputusan untuk memiliki anak. Sebab anak adalah tanggungjawab.

Casts 

Mari kita beri tepuk tangan yang meriah untuk performa Rose Byrne yang berhasil memerankan karakter Ellie dengan baik. Dia berhasil mengeksekusi karakter Ellie tanpa canggung sedikit pun. Sempurna. Namun di sisi lain ada Mark Wahlberg yang tampak kewalahan dalam membawakan karakter Pete. Di beberapa adegan gue merasa Mark terlalu melebih-lebihkan. Gue sempat tidak mengenali Pete karena ulah Mark itu. Namun tidak bisa disebut mengecewakan juga. Usahanya untuk mengembalikan Pete yang kita kenal sejak awal harus gue hargai.

Sementara Isabela Merced atau Isabela Moner tampak memesona memerankan remaja puber yang nakal namun menyimpan segudang rahasia di kepalanya. Gustavo Quiroz dan Julianna Gamiz juga tak kalah mencuri perhatian. Mereka mampu menyelami karakter Juan yang bodoh dan gegabah, juga Lita yang heboh dan suka menjerit. Mereka potensial untuk menjadi aktor hebat suatu hari nanti.

Dalam berakting bukan seberapa hebat lo bisa ketawa dan menangis atau memainkan mimik muka. Yang terpenting dalam akting adalah berusaha jujur saat membawakan peran yang diembannya. Karena kalau berusaha menjadi orang lain, justru di situ letak kegagalannya--tampak palsu dan tidak believable.

Sinematografi

Tidak ada yang perlu gue komentari soal ini. Tidak ada yang istimewa juga, dan tidak buruk. Cukup bagus lah~



Sekian dan terima kasih.


Skor: 7.8/10


 

Post a Comment

0 Comments