Penyalin Cahaya (2022) dan Ironinya

Directed by Wregas Bhanuteja

Starring Shenina Cinnamon, Lutesha, Chicco Kurniawan, Jerome Kurnia, Dea Panendra, Giulio Parengkuan


Catatan:

Ulasan ini mengandung spoiler yang berpotensi mengganggu

Trigger Warning:

 Kekerasan seksual


Penyalin Cahaya sempat menggemparkan Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2021 (JAFF 2021) pada penayangan perdananya di Indonesia setelah sebelumnya mendapat kesempatan melakukan screening di Busan International Film Festival 2021 (BIFF 2021). Film ini juga memenangkan 12 Piala Citra dari 17 nominasi, sekaligus mencatatkan sejarah sebagai penerima penghargaan FFI terbanyak sepanjang sejarah. Film ini kemudian digaet sebagai film asli Netflix. Namun, semua pujian yang diterima film ini sirna dalam semalam, ketika studio pembuatnya mengumumkan bahwa salahs atu kru terlibat dalam kasus kekerasan seksual, yang mana kru tersebut adalah salah satu otak dari film ini, co-writer. Ironis, film yang mengangkat tema kekerasan seksual ini ternyata ditulis oleh pelaku kekerasan seksual. 

Penyalin Cahaya akhirnya tayang di Netflix. Sulit rasanya untuk memisahkan seniman dari karyanya (separate the art from the artist) setelah tahu salah satu penulisnya adalah pelaku kekerasan seksual. Namun, sehubungan saya sudah menonton film ini sebelumnya, saya mencoba mengingat apa yang saya rasakan dan pikirkan saat menonton pertama kali (sayang sekali waktu itu saya tidak sempat menulis ulasan). Reaksi saya waktu itu kurang lebih sama seperti orang lain: tepuk tangan dan menangis (terharu karena bagus, dan ikut menangis bersama para penyintas). Harus diakui, secara kualitas, Penyalin Cahaya adalah salah satu yang terbaik yang perfilman Indonesia miliki. Namun, semua itu menjadi kabur setelah narasinya dikhianati oleh penulisnya sendiri.

Di luar dugaan menjadikan isu kekerasan seksual sebagai komoditas yang nirempati, saya rasa Penyalin Cahaya juga bisa menjadi monumen untuk mengingat ironi yang sedang terjadi ini. Namun, karena semakin banyak pandangan yang bias terhadap film ini, saya tidak akan berbicara soal intensi pembuat dan akan lebih fokus pada narasi utuh sebelum kontroversi ini terjadi.

 

Sinopsis

Suryani (Shenina Cinnamon) atau biasa dipanggil Sur, merupakan mahasiswi penerima beasiswa alumni yang bergabung dengan klub teater bernama Mata Hari. Sur bertugas sebagai website developer untuk pertunjukan teater Mata Hari. Pertunjukan teater Mata Hari sukses, tim mengadakan pesta di rumah Rama (Giulio Parengkuan), penulis naskah drama untuk teater Mata Hari. Sur terpaksa datang karena tawaran mengelola website ayah Rama. Ditemani Amin (Chicco Kurniawan), Sur pun memenuhi undangan Rama. Pesta yang diakhiri minum-minum itu berubah menjadi tragedi bagi Sur. Dia seperti dikerjai. Swafotonya ketika sedang mabuk tersebar hingga ke dewan beasiswa. Hal itu membuat beasiswanya mandek. Sur berusaha menelusuri kekacauan pada pesta itu, hingga dia menemukan hal tidak terduga. Masalah yang dihadapi Sur tidak sesederhana mengembalikan beasiswanya, melainkan juga mengembalikan martabatnya. 

 

Ulasan

Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, Penyalin Cahaya adalah film yang well-crafted di hampir semua sisi. Mulai dari sinematografi yang apik, musik pengiring yang magis, hingga akting para pemeran yang di luar dugaan saya sangat baik dalam mengantarkan emosi film ini ke tempat tujuannya. Namun, bicara soal narasi, banyak yang sebetulnya bisa dilihat dan kritisi. Bualan soal representasi dan julukan "film penting" sebaiknya kita singkirkan dulu. 

Akhir-akhir ini banyak film sejenis yang mengudara di perfilman kita. Soal perempuan dan kekerasan seksual, yang terbaru kita punya 27 Steps of May (2018), Yuni (2021), dan Dear Nathan: Thank You, Salma (2022). Bersama Penyalin Cahaya, ketiga film itu juga kelam sekaligus nyaring dalam "mewakilkan" isu tertentu, dalam hal ini ketidakadilan budaya patriarki dan isu kekerasan seksual. Ini menandakan kedua isu tersebut sedang menjadi isu yang penting. 

Seni dan sastra memang bisa menjadi alat kritik sosial dan menjadi representasi. Namun, setiap karya (terlebih satu dekade ke belakang) tak luput dari tuduhan "menjadikan suatu isu sebagai komoditas nirempati". Maka dari itu, sebuah karya (apalagi karya kolektif seperti film) tidak pernah bisa dinilai ketulusannya. Satu-satunya cara adalah membedah konstruksi narasinya tanpa memikirkan intensi si pengarya. Dalam kasus Penyalin Cahaya, saya melihat ada kecenderungan memperlihatkan kondisi korban kekerasan seksual yang kesulitan mendapatkan keadilannya. Namun, bagi penonton yang belum pernah menjadi korban kekerasan seksual, kecemasan yang dirasakan Sur belum tentu dimengerti. Sebab penonton seperti sedang mengintip, bukan berdiri di atas sepatu Sur. 

Hal itu bisa kita lihat dari reaksi penonton di media sosial yang menganggap film ini "seru" atau "menyeramkan" atau bahkan "menghibur". Bagi korban kekerasan seksual, film ini adalah mimpi buruk yang mengorek luka. Penyalin Cahaya memang dilematis. Di satu sisi kita terpukau dengan tata produksinya, di sisi lain ada ironi di dalamnya. Penonton tidak diberi pilihan yang jelas. Namun, dalam situasi yang kabur ini, saya rasa kita perlu mundur selangkah sebagai penonton. Saya pikir, menyerang film ini dengan fakta bahwa salah satu penulisnya terlibat dalam kekerasan seksual bukan bentuk empati yang diharapkan korban. Oleh karena itu, mundur selangkah selagi kita tidak bisa membantu apapun.

Kembali ke film, Penyalin Cahaya seperti memberi kesempatan bagi penonton (yang awam terhadap kasus semacam ini) untuk mempertanyakan atau bahkan menggugat keputusan Sur. Seperti pada realitas sosial yang sering kita lihat, Sur adalah satu-satunya yang disalahkan, padahal faktanya dia korban. Namun, entah atas motif apa, ada adegan Sur menenggak minuman beralkohol bersama Amin (tanpa kekhawatiran) dan terlihat menikmatinya. Padahal Sur mengatakan di awal bahwa dia hanya ingin memastikan kadar toleransi alkohol. Seolah Sur memang bodoh. Terlepas dari adegan itu dibuat dengan sangat indah, saya rasa itu janggal dan terkesan "disengaja".

Penyalin Cahaya juga menimbulkan banyak kecurigaan dari penonton. Kecurigaan yang wajar ketika menonton setelah mendengar kabar tidak menyenangkan dari film ini. Misalnya kecurigaan ada beberapa bagian yang diambil dari kejadian nyata yang dialami penulis. Kecurigaan itu, bahwa film ini mungkin saja fetish dari si penulis skenario film ini yang problematis itu, juga tidak ada salahnya. Mengingat karakter Rama yang juga seorang penulis. Problem ini sebetulnya bukan sesuatu yang asing di dunia seni dan sastra. Kita kerap mendengar Seniman A cabul atau Seniman B punya kebiasaan seks yang aneh. Penyalin Cahaya merupakan kritik yang cukup berani. Di Indonesia, jarang sekali ada yang menyentil hal ini meski kekerasan seksual di industri film bukan hal yang asing. Bahkan sebagian orang yang terjun di industri itu menggunakan istilah "rahasia umum" untuk mengidentifikasi fenomena ini.  


Kisah Medusa

Adegan Rama mendatangi Sur, Tariq (Jerome Kurnia), dan Farah (Lutesha) mengenakan kostum Perseus sambil menggelar pertunjukan teatrikal yang konfrontatif di tengah asap fogging yang menyamarkan pandangan adalah bagian paling mengerikan dalam film ini. Adegan pembungkaman korban ini jelas merupakan refleksi dari realitas sosial yang ada di sekitar kita. Korban dibungkam oleh kekuasaan pelaku. Relasi kuasa selalu menjadi problem utama dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. 

Kisah Medusa yang sejak awal ditampilkan dalam pertunjukan teater Mata Hari sebetulnya merupakan sebuah alegori. Biasanya, Medusa digambarkan sebagai tokoh penjahat di banyak film atau cerita fiksi pada umumnya, tetapi Penyalin Cahaya mendekonstruksi kisah Medusa dan dijadikan alegori untuk menggambarkan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Kisah tentang Medusa, disadari atau tidak, melanggengkan budaya victim-blaming dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban dipertanyakan dan digugat, bukannya dibela. 

Kisah Medusa:

Medusa adalah gadis yang jelita. Ia sangat mengagumi Athena, Dewi Kebijaksanaan. Dirinya dipilih oleh Athena untuk menjadi pendeta di kuilnya. Sejak Medusa menjadi pendeta di kuil suci Athena, jemaat bertambah banyak. Namun, alih-alih menyembah Athena, Orang-orang justru datang untuk mengagumi kecantikan Medusa.

Kabar tentang kecantikan Medusa terdengar sampai ke Penguasa Laut, Poseidon, yang merupakan rival dari Athena. Suatu saat Poseidon mendatangi kuil Athena untuk membuktikan kabar yang beredar. Poseidon pun terpukau oleh Medusa. Beberapa kali dia mencoba merayu Medusa, dan selalu ditolak. Medusa ingin menjaga kesuciannya sebagai pendeta. Namun, Poseidon kehilangan kesabaran dan akhirnya memerkosa Medusa di kuil itu. Athena, alih-alih membela Medusa, ia justru mengutuk Medusa menjadi monster berkepala ular yang mengerikan. Medusa korban, tetapi dihukum. Medusa dianggap mengotori kuil suci Athena. Medusa kemudian digambarkan sebagai monster yang mengerikan, dan siapapun yang menatap matanya, akan berubah menjadi batu. Setelah itu, banyak literatur dan film populer menempatkan Medusa sebagai penjahat dalam kisah heroik Perseus. 

Sur dan penyintas kekerasan seksual adalah Medusa, sementara Rama berlagak sebagai Perseus. Sama seperti Medusa, penyintas kekerasan seksual yang dibingkai sebagai orang yang "salah" sering kali kesulitan mencari sekutu (ally) yang bisa membantunya. Di film ini, Sur memang punya Amin dan ibunya. Namun, kemudian kita tahu bahwa Amin juga pelaku kekerasan seksual (mencuri foto mahasiswi dan diperjualbelikan). Pada akhirnya, Sur, Farah, dan Tariq sebagai korban harus saling menguatkan. 

Sampai akhir, para korban tidak benar-benar mendapatkan keadilan. Para pelaku pun tidak diganjar dengan setimpal. Entah film ini ingin menggambarkan realitas atau "sengaja" membiarkan korban berakhir tanpa keadilan. Hal itu membuat film ini terasa begitu menyesakkan hingga akhir. 

Kita tidak tahu apakah kepala Medusa dipenggal Perseus, atau Perseus mendapatkan ganjarannya. 

 

Menguras, Menutup, dan Mengubur

Penyalin Cahaya menggunakan asap fogging sebagai alat untuk menguras, menutup, dan mengubur kasus kekerasan seksual. Ini juga merupakan gambaran lain tentang budaya victim-blaming dan bagaimana relasi kuasa sangat berpengaruh. Di tengah tersamarkannya penglihatan, kita mendengar kalimat dari petugas fogging: menguras, menutup, dan mengubur. Tiga kata ini seperti sedang memberitahu penonton tentang apa yang sedang terjadi. Pelaku menguras korban (psikis, fisik), menutup suara korban dan orang yang membelanya, serta mengubur fakta. 

Coba kita lihat apa yang terjadi pada Rama dan Amin di akhir film. Amin, meskipun telah membantu Sur dalam banyak hal, dan meminjamkan Amelia (nama mesin foto kopinya) tidak berarti dosanya terampuni begitu saja. Saya tidak mencoba memperkarakan ending yang dipilih Wregas ini, tetapi saya pikir menampilkan ganjaran bagi pelaku di akhir bisa memaafkan kecenderungan menjadikan penderitaan korban sebagai suguhan sinematik yang nirempati. Meski pada akhirnya korban bersatu, mereka tetaplah Medusa yang kepalanya akan dipenggal Perseus. 

Penyalin Cahaya, terlepas dari kontroversi yang ada, juga memiliki kekurangan dalam narasinya yang kompleks, terutama dalam hal gaze. Penyalin Cahaya pada akhirnya sama seperti film "representasi" lainnya yang kadang menyuguhkan representasi yang kabur—samar. Namun, sebagai sebuah film, Penyalin Cahaya berhasil dalam menggelar kualitasnya. 

Catatan Penulis

Saya menonton Penyalin Cahaya dua kali. Sebelum dan sesudah kontroversi. Sebagian besar ulasan yang saya tulis di atas juga merupakan reaksi awal. Saya memang kagum dengan tata produksi film ini. Saya juga cukup menikmati karya-karya Wregas sebelum debut film panjangnya ini. Namun, setelah menonton untuk kedua kalinya (di Netflix), saya langsung menyunting sebagian ulasan saya, sebab ada hal-hal yang baru saya sadari. 

Saya juga mendukung penuh penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia. Semoga korban mendapatkan keadilan dan pelaku diberi ganjaran setimpal. Lebih dari itu, saya mengharapkan ada perbaikan sistem dan tentu saja pengesahan RUU TPKS sangat diperlukan. 



Post a Comment

0 Comments