Pengalaman Kesepuluh Menonton The Isle (2000) dan Mengapa Film Ini Luar Biasa


Menonton film untuk kesepuluh kalinya dan masih terkesan adalah sebuah pengalaman luar biasa yang saya alami. Hanya ada sedikit sekali film yang memiliki kekuatan sebesar itu, salah satunya adalah mahakarya kelima Kim Ki-duk, The Isle (2000).

Suatu hari, sepuluh tahun lalu, saat saya masih sangat muda tentu saja, seorang teman yang pernah bekerja di penyewaan film mengajakku dan beberapa teman lainnya untuk menonton sebuah film. Kebetulan, film yang akan kami tonton adalah film Korea Selatan, kalau saya tidak salah ingat, itu film The Chaser (2008) karya fenomenal Na Hong-jin. Saya belum tahu banyak soal sinema Korea pada saat itu. Saya juga belum punya cukup pengetahuan untuk menilai apakah sebuah film bagus atau tidak. Saya hanya menilai film berdasarkan pengalaman. Jika saya terkesan, maka film itu bagus. Singkat cerita, kami tidak jadi menonton The Chaser. Film itu ternyata sedang disewa, sehingga kami harus rela menonton film lain. Secara acak, teman yang mengajakku menonton mengambil sebuah DVD di rak film Asia. Kemudian, dia memutar film itu tanpa tahu apapun soal ceritanya. Bahkan, sampulnya sudah nge-blur. 

Logo CJ Entertainment muncul di layar, film pun dimulai. Baru sepuluh menit film berjalan, beberapa teman yang ikut menonton mengeluh karena filmnya terlalu lambat dan bikin ngantuk. Mereka tidak salah, saat itu saya pun mengantuk. Akhirnya, kami memutuskan untuk mengganti film. Kami menggantinya dengan Police Story 2 (1988), film yang menyenangkan untuk ditonton. 

Hari pun berlalu, saya tidak mengingat pernah menonton salah satu film Korea terbaik selama sepuluh menit. Namun, saat sedang menonton Youtube di warnet, saya menemukan cuplikan film itu. Cuplikan itu menampilkan adegan yang sangat brutal. Saya jadi penasaran, jangan-jangan film yang tempo hari bikin mengantuk itu sebenarnya seru. Saya pun meminjam film itu dari teman saya. Dia sempat melarang karena itu bukan film untuk anak di bawah umur. Tapi, saya ngotot, akhirnya dikasih juga.

Setelah menonton sampai selesai, diiringi dengan drama muntah-muntah, saya cuma bisa geleng-geleng. Saat itu, saya menilai film itu buruk, sangat buruk karena bikin saya muntah. Saya tidak menyangka ada orang yang mengizinkan orang sinting membuat film. Kim Ki-duk adalah orang sinting. Saking sintingnya, dia bisa membuat saya kembali untuk menonton The Isle setahun kemudian. Dan anehnya, penilaian saya terhadap film itu berubah-ubah tiap tahunnya. Mulai dari menyebut film ini "jahanam" sampai "masterpiece". Saya butuh waktu lima tahun untuk menyadari dan mengerti apa yang sebenarnya Kim Ki-duk racaukan di film itu. 

The Isle juga membukakan pintu bagi saya untuk mengeksplorasi film-film Kim Ki-duk yang lain, yang ternyata sama jahanamnya. Secara kualitas, mungkin The Isle bukanlah yang terbaik yang pernah dibuat Ki-duk, tapi film ini punya pengaruh yang kuat dalam mengenalkan gaya penuturan Ki-duk yang kini kita lihat. Film ini juga punya andil dalam membawa filmografi Ki-duk secara global. Terlepas dari kontroversi-kontroversinya, The Isle adalah film yang luar biasa.
 



Mengapa The Isle sangat mengesankan? Bagi saya, Ki-duk menulis pelajaran yang amat penting soal hidup sebagai manusia. Ki-duk mempersembahkan dunia realis dan surealis lewat perumpaan sederhana resor pemancingan. Setiap manusia lahir sebagai diri mereka sendiri. Manusia selalu sendirian. Manusia adalah manusia yang kesepian. Manusia adalah pulau-pulau. Manusia dipisahkan dari satu sama lain oleh selat-selat. Seperti Hee-jin dan Hyun-shik, manusia bisa menyeberangi selat itu dan bersatu dengan pulau lainnya. Namun, selalu ada pengorbanan, yaitu keutuhan. Film ini diakhiri dengan adegan konklusi yang terbuka. Entah apa maknanya itu, yang jelas Hyun-shik telah masuk ke dalam dunia Hee-jin sepenuhnya. Dia kehilangan separuh dirinya, begitu pula Hee-jin, karena mereka telah menjadi satu.

Saya sepakat dengan apa yang Roger Ebert katakan soal film ini, "Beautiful to look at". Bahkan saat memejam pun, film ini masih indah di dalam imajinasi. Saya tidak berlebihan. The Isle memang bukan film teratas dalam daftar film favorit, tapi saya selalu ingin kembali ke film ini. Sebab, tiap saya kembali, ada pemahaman baru yang saya dapat, dan secara ajaib, pengalaman saya pun terbarukan.

"I always ask myself one question: what is human? What does it mean to be human? Maybe people will consider my new films brutal again. But this violence is just a reflection of what they really are, of what is in each one of us to certain degree." -- Kim Ki-duk
Pada titik ini, saya sedikit berharap Kim Ki-duk membuat film seperti The Isle sekali lagi. Namun, saya tahu itu tidak akan terjadi. Kim Ki-duk selalu datang dengan narasi yang baru. Entah apa yang ada di kepalanya sekarang, saya berharap semua itu segera tumpah menjadi film baru.

Bagi saya, menonton film adalah sebuah ritual yang sakral. The Isle adalah satu dari sedikit film yang saya kunjungi secara rutin setahun sekali. Film-film ini adalah rumah ibadah yang nyaman dan sangat luas. Selama luasnya belum semua saya tapaki, maka saya akan terus menontonnya. 

Siapapun yang membaca tulisan apresiasi ini, dan belum pernah menonton The Isle, segerakanlah. 

Post a Comment

0 Comments