Satria Dewa: Gatotkaca (2022), Proyek Ambisius yang Eksekusinya Jauh dari Kata Bagus


Proyek Satria Dewa yang sebelumnya menghadapi jalanan terjal nan berliku akhirnya merilis instalment pertamanya yang diberi tajuk Satria Dewa: Gatotkaca. Saya termasuk orang yang menanti-nanti proyek ini sejak Charles Gozali digadang-gadang akan menukangi Satria Dewa: Gatotkaca ini yang kemudian digantikan oleh Hanung Bramantyo. Saya tidak masalah dengan itu, dan tidak mau prejudge meski saya tidak terlalu cocok dengan film-film Hanung. 

+++

Satria Dewa: Gatotkaca berlatar di kota Astina atau Astinapura. Film ini menceritakan seorang anak keturunan Pandawa, Yuda (Rizky Nazar) yang hidup bersama ibunya, Arimbi (Sigi Wimala) di bukit, bersembunyi dari para Kurawa yang sedang mengincar Pusaka Brajamusti yang mereka jaga. Ketika Pandega (Cecep Arif Rahman) pergi untuk sementara, sekelompok Kurawa yang dipimpin "Sosok" mendatangi Arimbi untuk merebut pusaka itu. Tanpa bantuan Pandega, Arimbi melawan. Pada akhirnya, Pusaka tersebut berhasil menyelamatkan Yuda dan Arimbi, meskipun ingatan Arimbi telah direnggut Sosok. 

Singkat cerita, Yuda beranjak dewasa. Kota Astina digemparkan oleh banyaknya kriminalitas dan kasus pembunuhan berantai yang juga menimpa sahabat Yuda, Erlangga (Jerome Kurniawan). Menurut Profesor Arya Laksana (Edward Akbar), semua kekacauan di Astina adalah ulah Kurawa yang sedang menanti kebangkitan Aswatama. 

Semuanya semakin runyam ketika Yuda mulai mencari tahu kematian Erlangga. Ibunya yang hilang ingatan pun tiba-tiba pulih dan pergi ke rumah masa kecilnya. Di sanalah kemudian sang ibu dibunuh oleh Sosok.

Dibantu Agni (Yasmin Napper), Dananjaya (Omar Daniel), Gege (Ali Fikry), dan Kurawa baik hati, Mripat (Yati Surachman), Yuda berusaha menghentikan usaha para Kurawa. Namun, rintangan demi rintangan tidak kunjung berhenti. Pertaruhan pun semakin besar. 

+++

Terlepas dari masalah-masalah yang terjadi pada proyek ini, saya melihat ada harapan setelah teaser resmi dirilis. Film terlihat sangat mahal, mencerminkan budget yang katanya puluhan M itu. Saya terkesima, tetapi saya tidak ingin menilai terlalu dini. Saya pun membuktikannya. Bioskop penuh dengan antusiasme penonton. Semua menanti film pembuka jagat sinema Satria Dewa ini. Namun, pada menit pertama film diputar, saya sudah menyipitkan mata, mengerutkan dahi, sambil memastikan apakah ada yang salah dengan mata saya. Tak lama, seorang penonton di samping saya bergumam, "kok, gelap banget, sih!" 

Selain gelap, pergerakan kamera saat menyorot adegan fight sangat buruk. Saya tidak tahu apakah tim sutradara dan koreagrafer aksi membuat semacam storyboard untuk adegan-adegan ini, tapi yang jelas ini sangat kacau. Kekecewaan pertama itu tidak ditebus dengan apapun sampai film selesai, yang ada justru muncul kekacauan-kekacauan lain. 

Pertama, visual yang ditampilkan tidak konsisten. Pada bagian tertentu, pada bagian lainnya sangat buruk. Jomplang. Terutama saat adegan malam hari, itu benar-benar seperti mati lampu ya, sayang~

Kedua, jualan utama film ini, action, disia-siakan oleh arahan dan treatment seadanya — bahkan lebih buruk dari itu. Ini sayang disayangkan sekali. Film superhero lho, ini. 

Ketiga, penuturan cerita yang tidak enak untuk diikuti. Lompat-lompat, cringe, lompat-lompat, cringe lagi. Hanung mencoba membuat film ini dramatis, tapi gagal. Bahkan pada momen-momen yang harusnya memberi dampak (misal, kematian Arimbi & Arya Laksana, juga klimaks) berakhir loyo. Film ini seperti kehabisan tenaga. 

Keempat, product placement. Sebetulnya saya bisa mengerti, product placement sering kali membuat (baca: memaksa) kreator untuk lebih fleksibel. Penempatan iklan dalam film itu hal yang wajar. Elok tidaknya, itu bergantung pada pilihan sutradara. Dan Hanung memilih pilihan yang salah (?) dengan membuat satu-dua scene menjadi seperti iklan komersial. 

Kelima, musik. Sebetulnya ini hanya masalah kecil. Namun, beberapa musik latar terasa mengganggu buat saya, terutama pemutaran lagu pop romantis yang membuat film ini sejenak terdengar seperti FTV. Selebihnya, ya, okelah. 

Keenam, eksplorasi Astina yang sekenanya. Sangat disayangkan Kota Astina yang sepenuhnya fiksi ini tidak dieksplorasi dena cukup kreatif. Yang kita lihat, Astina hanyalah nama lain dari salah satu kota di Indonesia. Padahal, Astina bisa dibuat menjadi kota fiksi yang utuh macam Gotham. Namun, film ini sibuk menjadikan Astina perumpaan untuk Indonesia — berusaha satir, tapi cuma berada di permukaan. Meh! 

Ketujuh, too much information. Menurut saya, film ini lebih baik dibuat sebagai film stand alone untuk karakter Yuda (yang masih sangat mentah ini) alih-alih mengemban beban proyek Satria Dewa secara keseluruhan. Jalan masih panjang informasi bisa dicicil dengan sabar. Kalau saja film ini berfokus pada karakter Yuda, setidaknya penonton tidak dibuat bingung. Tidak semuanya mengerti sumber asli cerita ini, yaitu Bharatayuddha. 

Kedelapan, banyak karakter tak penting yang mengganggu. Di samping pengenalan karakter Punakawan yang terasa seperti iklan komersial itu, ada karakter-karakter seperti Quinn (Zsazsa Utari) dan Nathan (Alex Matthew Thomas). Dua karakter ini dihapus pun tak masalah. 



Meski banyak kekurangan di sana-sini, Satria Dewa: Gatotkaca tidak sepenuhnya buruk. Performa akting Rizky Nazar dan Omar Daniel cukup baik. Keduanya memang cocok memerankan karakter pahlawan super. Saya juga suka kostumnya walau film ini menyia-nyiakan potensinya. 

Satria Dewa: Gatotkaca adalah proyek ambisius yang hasilnya kurang bagus. Banyak kekurangan. Tapi, potensi masih besar. Semoga film berikutnya mampu mengeksplorasi potensi tersebut dengan lebih baik. 

Apakah saya kecewa? Tentu. Tapi, saya selalu optimis dengan perkembangan sinema Indonesia yang mulai membaik lagi. Ini bukan akhir, Satria Dewa! Lihat, kompetitormu... jelek juga~ 

Kabuuuuuur!

_________________________________

Directed by Hanung Bramantyo

Starring Rizky Nazar, Yasmin Napper, Cecep Arif Rahman, Yayan Ruhian, Omar Daniel, Sigi Wimala, Edward Akbar


Post a Comment

0 Comments