Ulasan Singkat: Nussa, Shang-Chi, Dune, No Time to Die, Free Guy, Titane

Lima dari enam film yang saya ulas di bawah adalah favorit saya tahun ini, di samping Yuni (2021), Eternals (2021), dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021).  Sayang sekali sebetulnya, saya tidak bisa menulis panjang lebar seperti saat menulis Yuni dan Seperti Dendam. Waktu tetap waktu, fana.

#1 Nussa


Persetan dengan semua orang yang menyebut film ini dibuat oleh antek Taliban atau semacamnya. Setahu saya, Nussa adalah masa depan animasi Indonesia. Ditukangi Bony Wirasmono--produksi Visinema dan Little Giantz--Nussa menjadi film animasi yang hangat dan inspiratif. Pada dasarnya, Nussa bukan hanya film untuk anak-anak. Nussa untuk semua.

Naskah yang solid didukung oleh performa para voice actors yang tampil baik, terutama Muzakki Ramdhan sebagai Nussa dan, secara mengejutkan, Opie Kumis sebagai Babe Jaelani memberi warna yang cukup cemerlang di film ini. Tidak lupa apresiasi kepada departemen visual yang dikomandoi oleh Little Giantz dan Ryan Adriandhy dari Visinema. Dibandingkan dengan versi serial Youtube-nya, kualitas Nussa versi layar lebar jauh lebih baik. Tidak ingin buru-buru membandingkannya dengan Pixar, tapi untuk ukuran animasi Indonesia, ini adalah level tertinggi yang pernah dicapai.

Dari segi penceritaan dan penuturan tidak banyak masalah berarti kecuali jalinan plot di beberapa momen terasa terpenggal-penggal. Namun, hal itu sangat mudah dimaafkan karena film ini berhasil mengatasinya. Barangkali hal itu terjadi sebagai konsekuensi dari banyaknya cakupan emosi yang ingin disisipkan. Secara keseluruhan, Nussa adalah film animasi terbaik Indonesia sejauh ini.

Score: 4/5

 

#2 Shang-Chi & The Legend of the Ten Rings


Saya sudah menyukai Shang-Chi sejak melihat Tony Leung memiliki sepuluh gelang (atau cincin yang dipakai di lengan... whatever you call it) dan memiliki kemampuan super, dan awet muda, dan berkarisma. Juga, Marvel terlihat sangat serius menggarap Shang-Chi. Sejujurnya, kalau mau dibandingkan dengan film MCU lainnya, Shang-Chi punya keunikan tersendiri. Selain karena karakter-karakternya Asia, martial art  dan legenda jadi elemen yang sangat penting di sini. Beberapa kawan bahkan tidak mengira Shang-Chi adalah film Kungfu, bukan pahlawan super. Tidak masalah karena memang... benar (?) Koreografi aksinya juga terlihat keren.

Kesan orientalnya sangat terasa, tetapi juga tidak menegasikan bahwa ini adalah film pahlawan super Amerika. Shang-Chi masuk ke dalam daftar film MCU (stand alone) favorit saya setelah Black Panther.

Score: 3/5

 

#3 Dune


Ingat Dune, ingat rencana gila dan ambisius Alejandro Jodorowsky soal alihwahana novel fenomenal karya Frank Herbert, Dune (tonton dokumenter Jorodowsky's Dune (2013)). Denis Villeneuve, sebaliknya, tampak sangat berhati-hati dalam mengeksekusi adaptasi ini. Alih-alih berkiblat pada kegilaan Jodorowsky, Villeneuve cenderung menjadikan Dune versi David Lynch (1984) contoh.

Dune versi Villeneuve terasa draggy. Dune lebih seperti setup panjang untuk menyongsong bagian kedua film ini (yang entah kapan dibuatnya). Film ini terasa melelahkan untuk diikuti, tetapi memiliki aspek-aspek penting untuk kita ketahui. Cerita fantasi-fiksi ilmiah tentang Imam Mahdi ini memang, dari sumber aslinya, sulit untuk dialihwahana sebagai karya audio visual. Kendati, sepanjang 3 jam durasi film, saya masih bisa menikmatinya.

Hal yang paling saya suka dari Dune versi Villeneuve adalah aspek visualnya. Sebagian orang, yang tidak menikmati penuturan film ini, mungkin akan beranggapan Dune hanya tayangan dokumenter semacam National Geographic.

Secara keseluruhan saya suka. Villeneuve masih setia pada sumber aslinya. Saya juga bersyukur Villeneuve tidak mewujudkan ide-ide Jodorowsky yang menurut saya akan lebih sulit dinikmati.

Score: 3,5/5

 

#4 No Time to Die


Tidak bisa berbicara banyak soal film ini. Sebuah penutup yang buruk dari seri James Bond versi Daniel Craig. Entah kenapa seri ini memang selalu menurun kualitasnya setiap kali ada rilisan terbaru. No Time to Die adalah puncaknya. Mungkin ini memang waktu yang tepat bagi Craig untuk pensiun. Fukunaga sebetulnya membuka film ini dengan cukup menjanjikan walaupun akhirnya dikhianati oleh naskahnya sendiri yang lemah dan seadanya. Seharusnya saga ini ditutup dengan gemilang, tetapi ya sudah, mau gimana lagi? Andai Skyfall adalah penutup.

Score: 2,5/5

 

#5 Free Guy


Free Guy barangkali menjadi film terasyik yang saya tonton tahun ini setelah Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Menceritakan dua dunia, dunia game dan dunia nyata. Free Guy adalah film yang jenaka, menyenangkan, sekaligus mengharukan. Ryan Reynolds, lagi-lagi, menyelamatkan film yang dibintanginya. Sempat oleng di beberapa bagian, Free Guy pada akhirnya tetap bisa berdiri dengan baik berkat performa apik Ryan Reynolds. Tak ada yang istimewa atau baru di film ini. Tapi percayalah kalau film ini sangat menghibur plus sebuah surat cinta yang manis yang disampaikan lewat NPC (Non Playable Character) selucu Ryan Reynolds.

Score: 4/5

 

#6 Titane


Sebuah body horror yang epik dari Julia Ducournau. Sebuah karya metaforis yang mengajak kita kembali memaknai tubuh. Dikemas dengan cara yang brutal dan berdarah-darah, Titane menjadi salah satu film paling istimewa tahun ini, juga paling gila. Meskipun film ini diakhiri dengan konklusi yang kurang greget dan menggugah, tidak membuat konstruksi besar Titane ambruk. Terutama sampai akhir film ini masih punya Agatha Rouselle yang tampil luar biasa.

Score: 4/5

Sekian dan terima kasih~


Post a Comment

0 Comments