Flee (2021): Melongok Realitas Mengerikan Lewat Kenekatan Seorang Pengungsi


Saya berkesempatan mengikuti screening resmi film dokumenter animasi Flee (2021) di Variety's Streaming Room pada 26 Januari 2022. Sebelumnya, film ini memang sudah mencuri perhatian saya. Mendengar banyak desas-desus di antara para sinefili di media sosial, soal isu yang diangkat dalam dokumenter ini, saya langsung tertarik. Dan memang betul, film ini sangat nekat dalam membicarakan kebobrokan realitas.

Flee adalah tipikal film yang akan membuat kamu menghela napas panjang sambil mengusap dada, kadang juga menggelengkan kepala. Kalau boleh jujur, pengalaman menonton Flee adalah pengalaman paling berkesan dari semua film yang saya tonton tahun lalu dan tahun ini. Ada perasaan sakit yang tumbuh, seolah kita ada di atas sepatu Amin Nawabi.


"Home — what does it mean to you?" — Flee (2021)


Awalnya saya bertanya-tanya mengapa film ini dibuat menjadi animasi alih-alih mendapatkan kesan nyata dengan menayangkannya seperti dokumenter pada umumnya. Namun, setelah menontonnya, saya paham. Ada banyak sekali isu sensitif yang dibicarakan. Dan dugaan saya soal kesan nyata itu salah. Film ini terasa sangat nyata. Tentu, kisah memilukan di dalamnya benar-benar terjadi. 

Amin — yang melarikan diri dari Kabul, Afghanistan, bersama keluarganya di tahun 90-an, ketika dia masih remaja — berada di bandara. Dia merenungkan keengganannya sendiri untuk menetap, tinggal di satu tempat, membangun rumah dengan tunangannya Kasper. Sikap diam itu mengejutkan penonton, karena "rumah" adalah semua yang dia inginkan sejak dia masih kecil. Tetapi "ketika Anda melarikan diri sebagai seorang anak," dia menjelaskan, Anda terus-menerus waspada. Anda takut untuk mempercayai siapa pun. Bahkan pasangan Anda. Bahkan sahabatmu."


Flee on Variety Streaming Room



Jonas Poher Rasmussen (sutradara) merupakan teman masa sekolah Amin. Saya bisa mendengar dengan jelas pertanyaan yang dia lontarkan kepada Amin adalah apa yang biasanya seorang sahabat tanyakan — sangat peka dan sama sekali tidak terdengar memaksa. Amin mengungkap kisahnya secara perlahan sambil menahan rasa sesak yang menjalar di dalam dirinya. 

Dokumenter ini juga mengungkap kegelisahan seseorang yang menjadi gay di negara macam Afghanistan. Bahkan, mungkin kata itu tidak pernah ada di sana. Hal tersebut menjadi renungan saya selama beberapa hari ini. Sebesar apa beban yang diemban mereka. 

Menonton Flee, menjadikan saya teman Amin untuk beberapa jenak. Saya seperti dibawa berkeliling di sebuah museum patah hati di kota terpencil, melihat deretan potret dunia. Di beberapa tempat, kata 'manusiawi' memiliki arti lain, dan kemanusiaan tidak pernah ada.

________________

Sutradara: Jonas Poher Rasmussen




Post a Comment

0 Comments