Melongok Kemarahan Paling Artistik: Antiporno (Sion Sono, 2016)


Pink Cinema — Roman Porno Reboot


Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang kebingungan mencari film untuk ditonton di MUBI, tiba-tiba “Antiporno” muncul di beranda. Untuk mengisi waktu luang yang tidak lebih dari 90 menit itu, akhirnya saya memutuskan untuk menonton Antiporno lagi. Menonton lagi salah satu karya terbaik Sion Sono saat ini semacam waktu terbaik. Mendengar banyak kasus kekerasan seksual, perdebatan tentang kesetaraan gender, hingga politik tubuh, membuat Antiporno terdengar lebih nyaring dan terlihat lebih mengerikan daripada sebelumnya. Antiporno (2016) merupakan drama satire tentang seorang penulis perempuan bernama Kyoko yang bangun di ruangan berwarna kuning dan merah mencolok, memeriksa jadwal harian, melakukan wawancara, lalu mengulangi kembali rutinitasnya dengan banyak twist pada setiap repetisinya.

Film Antiporno (2016) merupakan salah satu dari lima film (Aroused by Gymnopedies, Wet Woman in the Wind, Dawn of the Felines, dan White Lily) dalam proyek Roman Porno Reboot yang juga sering disebut Pink Cinema. Antiporno (2016) ditulis dan disutradarai oleh Sion Sono — yang menurutnya adalah film paling personal yang pernah dia buat. Melalui warna-warni visual yang memikat, Sion Sono menyampaikan kemarahan paling artistik.

Sion Sono dikenal sebagai sutradara paling prolifik sekaligus provokatif di Jepang dan dunia. Pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam filmnya selalu tidak biasa, sehingga menjadikannya khas. Sion Sono melemparkan pemikirannya ke dalam film dengan cara-cara yang fantastis. Mulai dari yang paling sadis, Suicide Club (2001) sampai dengan film yang thoughtful seperti Himizu (2011). Sion Sono selalu memiliki kedalaman dalam setiap film atau serial televisi yang dia garap. Meski terkesan melemparkan begitu saja apapun yang dipikirkannya ke layar, kalau kita ingin sedikit lebih merenungkannya, banyak detail-detail kecil yang membantu kita memahami jalan pikirannya. Oleh karena itu, saya selalu menonton film Sion Sono lebih dari sekali. Pertama menonton, saya hanya akan menikmatinya. Kali kedua menonton, saya akan mencoba memahami apa yang sebetulnya film itu ingin katakan.


“Freedom’s servants, freedom’s slaves, freedom’s puppets, forced to act as if they’re free.” — Noriko


Dalam film Antiporno (2016), Sion Sono mengajak penonton membicarakan isu-isu seperti seksisme, masyarakat patriarki, seks, hingga liberasi perempuan. Tentu saja, seperti yang saya katakan sejak awal, Sion Sono memiliki cara yang unik dalam menyampaikan pemikirannya. Antiporno (2016) — berbeda dengan Suicide Club (2001), Noriko’s Dinner Table (2005), atau Himizu (2011) — memiliki pendekatan yang sangat berbeda. Selain lebih frontal, Antiporno sebetulnya tidak sedalam film Sono lainnya. Sion Sono lebih terus terang di Antiporno. Kita langsung tahu apa yang ingin Sono cemooh. Lewat karakter Kyoko (Ami Tomite) yang terpenjara dalam kehidupannya sendiri, dialog repetitif tentang menjadi pelacur, dan banyaknya nudity dan sexual content di film ini, Sono seperti ingin mencurahkan kritiknya seperti para pendemo di depan istana negara: keras, lugas, dan padat.

Women Can’t Master Freedom!


Kebebasan adalah kata yang selalu diulang oleh titular character dalam setiap bagian. Setidaknya ada tiga repetisi alur yang memuat narasi tentang kebebasan. Seperti yang kita baca di poster, “Freedom? What’s that?”, film ini mengolok-olok fakta bahwa kebebasan hanyalah isapan jempol. Semua hal tentang kebebasan terlihat buram. Sono melemparkan sebuah pertanyaan untuk direnungkan bersama, “Seperti apa kebebasan itu?”


“No woman in this nation can master freedom!” — Kyoko

 

Tampaknya Sono sangat marah terhadap ketidakbebasan yang dia lihat atau alami sendiri, terutama terhadap yang menimpa perempuan. Dialog Kyoko yang mempertanyakan apakah kebebasan itu menjadi refleksi dari apa yang menjadi keresahan banyak perempuan. Para pemuja kebebasan hanya berpura-pura menjadi orang yang merdeka, padahal mereka tidak mengerti seperti apa rasanya menjadi bebas. Perempuan, menurut Sion Sono melalui Kyoko, tidak ada yang bisa menguasai kebebasan atau kemerdekaan.

Seks dan Hak Atas Tubuh


Di antara kemarahan-kemarahan Sono yang lain, barangkali yang paling tersirat adalah kritik terhadap seks dan objektifikasi tubuh perempuan. Sono memperlihatkan bagaimana masyarakat — diwakili oleh kru produksi — kerap mengatur dan mengklasifikasi perempuan ke dalam dua jenis: perawan dan jalang. Sementara di sisi lain, perempuan selalu diobjektifikasi sebagai objek seksual. Hal ini menjadi sebuah tantangan yang sulit bagi perempuan untuk memenuhi tuntutan “tidak menjadi jalang” tetapi semua mata laki-laki mesum menatap mereka dengan penuh birahi.

Juga, Antiporno, melalui paparan visual ketelanjangan ingin menegaskan bahwa sebaik atau sejalang apapun perempuan menurut masyarakat, tubuh selalu menjadi hak pribadi. Kendati, hak itu tidak benar-benar bisa dipenuhi. Seperti yang Kyoko katakan, “Ini bukan hidupku! Ini bukan eksistensiku!” perempuan tidak hidup di dunia yang tepat untuk mereka dan tidak hidup untuk diri mereka.



imdb


Seksisme, Masyarakat Patriarki, dan Dunia Seni


Dalam Antiporno, melalui karakter Kyoko, perempuan — semua jenis perempuan, mulai dari pelacur hingga seniman — tidak pernah benar-benar bisa keluar dari jerat masyarakat yang misoginistis. Kyoko juga memprotes bagaimana laki-laki membedakan diri dari perempuan, menyoal penyebutan “penulis perempuan”, “aktris”, dan sebutan lain yang seolah membedakan level antara laki-laki dan perempuan. Kyoko menyalak dan berkata bahwa dia adalah seorang “penulis” bukan “penulis perempuan”.

Seksisme dalam dunia seni sering kali dibenarkan dengan dalih (atau lebih tepatnya omong kosong) kodrat. Bahkan saat dunia mulai terbuka dengan ide-ide feminisme, banyak bajingan yang membenarkan pemikiran seksisnya dengan segala cara. Kyoko menertawakan sekaligus menangisi kenyataan tersebut. Sekali lagi, penggugatan Antiporno terhadap masyarakat adalah sebuah tinjuan yang amat keras. Masyarakat yang kita tinggali — mau mengakuinya atau tidak — memiliki masalah seksisme yang mengakar dan sulit dicabut.

Kalau ada jalan untuk melarikan diri, Kyoko akan berlari ke jalan itu bebas. Namun, sepertinya dia akan selalu menemukan jalan buntu selama orang-orang belum menyadari eksistensinya sebagai manusia. Sejauh apapun Kyoko berlari, yang dia temukan hanya cerminan dirinya yang tak utuh.

Film Antiporno (2016) mungkin datang dari pemikiran laki-laki. Namun, kemarahan itu tidak hadir dari seorang misoginis yang mesum dan nyaman berada di dalam dunia yang penuh dengan ego patriarki. Saya akan tetap menyebut Antiporno (2016) sebagai sebuah kemarahan paling artistik dalam sinema sebelum ada film serupa yang tak kalah nyaring.


Rizal Nurhadiansyah, 31 Desember 2021 (telah ditayangkan terlebih dahulu di Morpheus
_____________

Catatan: 

Artikel ini telah disunting pada 31 Januari 2022 oleh penulis. 

Post a Comment

0 Comments