(Review) Merindu Cahaya de Amstel (2022)

Directed by Hadrah Daeng Ratu

Starring Amanda Rawles, Bryan Domani, Ridwan Remin, Maudy Koesnadi, Oki Setianadewi


Film religi Indonesia telah mencapai titik terjenuhnya. Tema yang diusung itu-itu saja, eksekusinya begitu-begitu saja, dan tak lupa bagaimana mereka (film religi) berusaha menceramahi penontonnya dengan ungkapan-ungkapan yang dangkal. Merindu Cahaya de Amstel, meskipun diinspirasi oleh kisah nyata penulis sumber aslinya (novel), sama sekali tidak menampilkan narasi yang segar.
Marien (Amanda Rawles) seorang gadis Belanda yang bebas memutuskan untuk hijrah dengan memeluk agama Islam demi kehidupan yang lebih baik. Dia mengganti namanya menjadi Khadija. Suatu hari dia bertemu dengan Nicholas (Bryan Domani), seorang fotografer dan jurnalis yang juga merupakan mahasiswa arsitektur. Nico tidak percaya pada agama, dia seorang agnostik. Di sisi yang lain, ada Kamala (Rachel Amanda), mahasiswi dari Yogyakarta yang sedang berkuliah di Belanda. Dia berteman dekat dengan Khadija. Dan Kamala menyukai Nico. Cerita berjalan dengan memadukan kisah cinta beda keyakinan dan cinta segitiga yang pelik.
Sejujurnya saya cukup menikmati film ini hingga 25 menit pertama. Setelah itu, narasi film ini terjun bebas ke jurang tak berdasar. Arahan Hadrah Daeng Ratu yang awalnya cukup enak diikuti berubah menjadi montase yang mengganggu. Saya tidak habis pikir film religi tahun 2022 masih menggunakan perumpamaan-perumpaan bodoh soal menutup aurat. Elemen romansa seperti cinta beda keyakinan dan cinta segitiga masih bisa saya maafkan. Film seperti ini memang sulit lepas dari keklisean, terlebih memang masih banyak yang menyukai cerita-cerita cinta semacam itu.
Saya menyebut film ini dangkal bukan tanpa alasan. Saya sudah muak mendengar bualan soal hijab bisa membuat akhlak menjadi baik. Seakan-akan perempuan yang mengenakan hijab otomatis baik dan yang tidak mengenakan hijab pasti buruk. Rasanya menggelikan sekali menilai baik-buruk manusia hanya dari tampilan luar. Menjadikan hijab sebagai simbol kebaikan itu tidak masalah, tetapi melabeli hijab sebagai jaminan kelakuan baik itu nggak banget. Selain itu, cara film ini mendeskripsikan pergaulan bebas Kamala sangat tidak realistis. Bagaimana bisa seorang gadis yang tidak salat, tetapi tidak mabuk-mabukan, tidak bergaul semaunya dengan laki-laki, dan bukan tukang dugem, disebut seperti gadis bebas di Belanda oleh Nico. WTF. 
Saya selalu ingin menonton film religi Indonesia yang mengedepankan spiritualitas ketimbang romantis picisan sok islami dengan latar luar negeri. Akhir-akhir ini tren religi kita memang menyukai jenis cerita semacam itu. Asal eksekusinya baik, saya rasa itu bukan masalah. Namun, yang saya lihat belakangan justru terlihat tidak "niat".
Merindu Cahaya de Amstel baiknya tetap dibungkus seperti permen—seperti bagaimana film ini mendeskripsikan perempuan muslimah seharusnya—tidak perlu ditonton kalau kamu cukup sibuk untuk omong kosong.

Post a Comment

0 Comments