The Science of Fictions, Hiruk Pikuk si Al Kisah




Pada 1960-an, NASA mencatat sejarah setelah menerbangkan modul lunar ke bulan sekaligus menjadikan Neil Amstrong manusia pertama yang menginjakkan kaki di tanah terjal nanti gelap itu. Pada tahun-tahun yang sama pula, di Indonesia, terjadi tragedi mengerikan pembunuhan 7 jenderal dan perwira militer (yang dipercaya) diinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 2019, Yosep Anggi Noen merilis film berjudul The Science of Fictions yang menyoal kedua peristiwa sejarah tersebut dengan fiksi yang penuh hiruk pikuk.

Menonton The Science of Fictions memang pengalaman yang sinematik yang unik dan kalau kata orang-orang 'membagongkan'. Para movigoers manggut-manggut tak jarang melongo setelah menonton film yang katanya mindfuck ini. Saya pun begitu. Namun, banyak pertanyaan dan dugaan yang timbul. Benak ini tidak bisa menahan diri untuk melontarkan pertanyaan 'bagaimana jika semua itu memang bohong?', dan sangkaan 'wah, jangan jangan ini...' dan seterusnya.

Film ini, tidak seradikal Bill Kaysing, ingin mempersoalkan fakta pendaratan pertama manusia di bulan. Pun tidak sekeras orang-orang yang mempertanyakan kebenaran Gerakan 30 September yang sampai saat ini diyakini sebagai ulah PKI. Film ini memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan kita soal kebenaran sejarah yang kita baca di buku-buku, dan bahwa sejarah bisa berubah (baca: diubah) kapan saja. Lewat pembungkaman, kebenaran bisa disumpal dan kebohongan dialirkan ke telinga orang-orang. 





***

Saya tidak begitu yakin dengan the science di film ini, tetapi jelas fiction memutarbalikkan hati dan pikiran, mengajak penonton berefleksi, merenung, dan mengaduh karena tiba-tiba merasa blo'on. Reaksi macam 'hah? heh? hoh?' ketika menonton film ini adalah hal yang wajar. Begitulah fiksi, tidak harus langsung dimengerti maksudnya (mungkin ini yang coba Yosep Anggi Noen sampaikan, mungkin juga saya yang sotoy setengah mati).

Di tanah terlarang di Jogja, 1960-an, layar hitam putih, Siman (Gunawan Maryanto) menyaksikan peristiwa janggal (yang disebut-sebut sebagai the biggest lie oleh Sukarno KW di dalam film ini). Terdapat modul lunar besar di padang pasir sekaligus para astronot yang bergerak pelan seperti di bulan. Terdapat pula kru syuting (kameramen, sutradara, dan lain-lain) di sana. Menurut film ini, Neil Amstrong tidak benar-benar dikirim ke bulan, mereka sebenarnya syuting di Jogja! Siman ketahuan, lidahnya dipotong. Siman tidak boleh menyebarkan kejadian itu kepada siapapun!

Siman mengalami post-trauma, dia tak bisa bicara dan bergerak macam astronot — sangat pelan. Ibunya menganggap Siman sakit/gila. Dia bunuh diri. Siman pun hidup sendiri. Ditutup dengan peristiwa penangkapan antek-antek PKI, layar hitam putih yang beresolusi 4:3 pun berubah menjadi 16:9 berwarna, latar berubah ke masa kini. Anehnya, semua orang termasuk Siman, tidak menua. Peran mereka di masa kini pun berbeda. Namun, Siman tetap bergerak seperti astronot. Orang-orang tetap menertawakannya.

The Science of Fictions memperlihatkan bahwa sejarah bersifat lentur. Sejarah bisa berubah tergantung siapa yang mencatat dan menuturkannya. Kebohongan sebesar apapun, jika diulang seiring waktu berjalan, maka akan jadi kebenaran. Siman adalah saksi sejarah yang bisu. Dia satu-satunya yang tahu kebenarannya. Namun, orang tak mungkin percaya, sebab Siman tak bisa membuktikan apapun.






Terdapat frase Jawa 'Iso krungu ning raiso nyatakke' untuk mendeskripsikan kondisi Siman, yang artinya 'Bisa mendengar tetapi tidak bisa menyatakan' alias secara lebih mengerikan berarti 'Bisa mendengar tapi tak bisa membuat pikirannya jadi nyata'. Tidak bisa membuat pikirannya jadi nyata adalah problem terbesar Siman dan banyak orang. Beberapa hal memang tidak bisa dibuat jadi nyata dan hanya mengendap sebagai ampas pikiran di kepala.

Kondisi Siman agak membingungkan karena PTSD-nya beberapa kali sembuh. Hal itu saya simpulkan Siman memang sengaja (baca: sadar, tidak gila) bertindak macam astronot. Dia bahkan membuat kostum astronot untuk meyakinkan orang-orang akan kebohongan terbesar dalam sejarah yang dia saksikan. Namun, hal itu tetap sia-sia. Orang-orang menganggap Siman tak lebih sebagai tanggapan dan badut belaka. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang 'menanggap' dia di hajatan.

The Science of Fictions menyuarakan banyak hal, baik yang terang-terangan maupun yang subtil. Melalui pendekatan yang sedikit absurd dan sureal, Yosep Anggi Noen mendongeng soal zaman dulu dan zaman sekarang, sejarah hingga teknologi masa kini, astronot hingga PKI. Pada intinya, film ini seperti ingin mengajak penonton menerka fiksi dalam fakta, fiksi dalam fiksi, dan fiksi-fiksi lainnya dalam hidup.






Beberapa hal, saya rasa, terasa terlalu dangkal. Film ini berbicara terlalu banyak hal hingga beberapa di antara yang dibicarakan itu terdengar samar — seperti mendengarkan orang kumur-kumur bercerita soal kekatroan orang dalam menggunakan medsos.

Namun, secara artistik, harus diakui film ini sangat berbeda dan cukup berani untuk ukuran film Indonesia. Terlepas dari satire dan kritik sosio-politik yang tersebar di seluruh film, The Science of Fictions adalah karya yang baik.

Terakhir, akting Mas Gunawan Maryanto (Alm) memang luar biasa.

_______________________
Directed by Yosep Anggi Noen
Starring Gunawan Maryanto, Asmara Abigail, Marissa Anita, Lukman Sardi, Ecky Lamoh, Yudi Ahmad Tajudin

Post a Comment

0 Comments